Cinta mungkin bukanlah satu-satunya impian yang kini terbersit di hati dan pikiran Bonar, akan tetapi memang itu-lah yang sangat mengganggunya saat itu sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa bulan purnama yang bertengger di langit sana sedang mengawasinya. Ia tidak akan pernah tahu juga bahwa saat itu banyak mata-mata dari alam ini sedang mengintainya bukan saja bulan, tetapi seluruh isi alam ini sedang mengintainya. Bahkan, ikan-ikan yang sedang berenang di dalam danau dan sedang dipandangi olehnya dengan tatapan kosong itu, mungkin saja sedang mempertanyakan keberadaannya. Mungkin tidak ada yang dapat mengerti bagaimana perasaannya saat itu, kecuali Dia yang di tempat tersembunyi sedang memperhatikannya lekat-lekat.
Malam itu, sang rembulan masih bertengger manis di atas lagit. Rembulan itu sedang bergembira karena dia senantiasa ditemani oleh bintang-bintang yang siap menghiburnya. Ia tidak akan pernah khawatir ataupun sedih karena kesepian, karena mungkin pada malam itu dia tidak akan sendiri. Ah, andai saja ada yang mau mengerti betapa galaunya pikiran anak muda yang sedari tadi duduk sendiri di tepi danau yang tenang itu.
Bonar sudah seharian berada di tempat itu. Sejak pagi tadi, tidak seorang pun yang memperhatikan kegalaunnya. Dia seakan tidak percaya dengan apa yang telah didengarnya sepulang dari gereja. Darahnya seperti berhenti mengalir pada waktu itu.
“Ito, aku mau minta maaf kepadamu!”
“Untuk apa?” Hati dan pikiran Bonar seakan sulit untuk disatukan. Ia mencoba menerka apa yang akan dikatakan orang yang paling dicintainnya itu, karena kedua orangtuanya sudah lama tiada. Padahal, dia adalah anak satu-satunya dari kedua orangtuanya. Ia tidak punya siapa-siapa lagi untuk dicintai, selain Shanti. Itu-lah yang membuat pikiran pemuda itu, menjadi tak menentu.
“Untuk apa kamu minta maaf, Shan?”
“Nar, berat rasanya bagiku untuk mengatakannya. Tapi...”
“Tapi apa?”
“Tapi..., aku harus mengatakannya juga kepadamu.”
“Mengatakan apa, Shan? Jangan buat aku tambah bingung?”
Shanti sebenarnya sangat mencintai Bonar, sebagaimana pemuda itu juga mencintainya. Dia sangat tidak ingin melukai hati pemuda itu. Dia tidak mau membuat pemuda itu kembali bersedih. Dia sangat mengerti bagaimana pergulatan pemuda itu ketika kedua orangtuanya telah dipanggil yang mahakuasa tiga tahun yang lalu.
Ketika itu, gempa yang sangat dahsyat telah memporak-porandakan kampung halaman mereka termasuk rumah dan kedua orangtuanya. Ketika melihat itu, Bonar yang biasanya selalu ceria dan suka menghibur orang lain bila ada masalah, berubah total. Bahkan, pemuda yang biasanya aktif dalam kegiatan di gereja itu sangat kecewa, karena Tuhan sendiri telah merebut kedua orangtuanya darinya. Bahkan dalam kebingungannya, dia sempat protes kepada Tuhan. Hanya Shanti saja yang mengerti perasaan pemuda itu.
Dengan susah payah, dia telah mencoba merubah penderitaan pemuda yang sebenarnya juga sangat dia sayangi. Kekaguman terhadap sikap pemuda, yang selalu baik hati dan murah senyum itu-lah yang telah menggugah hati gadis itu, sebelumnya. Beberapa kali, ia ingin mengungkapkan cintanya, tetapi tidak kesampaian. Dan ketika cinta itu mulai bersemi lagi dan sang pujaan hati telah menerimanya dengan tulus hati, dengan berat hati dia harus membiarkannya menguap.
Hati gadis itu sebenarnya juga sangat gundah. Akan tetapi, yang membuatnya lebih bingung lagi adalah apakah pemuda yang kini berada di hadapannya itu akan mau mengerti dengan segala keputusannya itu? Dia menjadi serba salah. Akan tetapi, dia tidak dapat memungkiri kenyataan yang ada.
Dia telah berkata kepada dirinya sendiri, untuk rela meniggalkan cintanya itu demi cinta yang lebih besar. Ya, cinta yang akhir-akhir ini selalu dipertanyakannya keberadaannya. Cinta yang selama ini tidak ia mengerti. Cinta yang menuntutnya harus mengorbankan cintanya yang lama. Keputusan itu telah dia ambil dengan kebulatan tekad dan ketulusan hati.
“Maaf Bonar, aku harap kamu mau mengerti dengan keputusanku ini.”
“Iya, tapi keputusan apa? Apakah kamu tidak mencintaiku lagi?”
“Bukan itu, Nar!” Katanya sambil mengelengkan kepala dan tanpa disadarinya setiti bening keluar dari sudut matanya yang indah itu. “Ito, aku masih mencintaimu dan sampai sekarangpun cinta itu masih tetap tertanam di hatiku... akan tetapi ... dengan keadaanku sekarang, aku harus berkata bahwa aku sungguh ingin menempuh jalan lain.”
“Maksudmu…?” Pemuda itu sedikit bingung dengan perkataan yang dilontarkan oleh orang yang paling dicintainya itu. Dia tidak mampu menebak kemana arah pembicaraan Shanty, atau mungkin mampu tetapi tidak dapat menjangkau pemikiran gadis itu.
“Nar, sebenarnya sudah lama aku merasakan perasaan ini dan ini sudah lama aku inginkan. Akan tetapi, aku merasa kebingungan untuk menentukan pilihan. Aku tidak mampu untuk memutuskannya. Tetapi setelah melalui masa-masa krisis itu, aku pun mulai berani mengatakan “ya” dan berani menanggung segala konsekuensinya.” Dengan serius, Bonar mencoba mengikuti arah dari perkataan Shanty.
“Ya, setelah aku pikirkan, akupun memutuskan untuk masuk Biara.” Bonar sangat terpukul ketika mendengarkan perkataan itu. Dia seperti dikembalikan lagi ke masa yang silam, ketika orang-orang tercintanya diambil darinya. Dan kini, Shanty pun diambil pula darinya.
Dia sangat kecewa dengan Tuhan. “Kenapa Engkau mengambil semua orang yang sangat aku cintai.” Dia bersungut-sungut dalam hati. Dia sangat ingin menceburkan diri ke dalam air danau yang kini berada di hadapannya. Dia meresa tidak ada gunannya lagi untuk hidup berlama-lama kalau hanya penderitaan yang ada.
“Bonar…! Bonar…! Bonar…!” Tiba-tiba pemuda itu terbangun dari lamunannya ketika dia mendengar samar-samar ada suara yang sedang memanggilnya. Dia mencoba mencari dari mana asal suara itu. Suara itu sebenarnya sangat akrab di telinganya, akan tetapi dia belum juga mampu menerka suara siapa itu. Hingga…
”Bonar…, sedang apa kamu di sini?”
“Eh, kau ternyata Li.” Bonar sungguh terkejut ketika diketahunya bahwa Uli-lah yang dari tadi memanggilnya. Dia memperhatikan lekat-lekat wajah gadis itu, sepertinya ada rasa khawatir di wajah manis itu. Yah, dia tidak pernah menyadari bahwa sebenarnya dia masih mempunyai Uli yang juga sangat memperhatikannya. Dia tidak menyadari bahwa Tuhan tidak pernah memberikan penderitaan yang tidak mampu ditanggungnya. Hanya saja, dia selalu dengan cepat putus asa dan mengambil keputusan bahwa Tuhan sungguh tidak adil kepadanya. “Ah, Tuhan andai saja aku mengerti bahwa Engkau sungguh-sungguh mencintaiku?” Keluhya dalam hati. Dia seakan tidak percaya dengan kejutan-kejutan yang kerapkali diberikan Tuhan kepadanya.
“Nar, dari tadi aku mencarimu kemana-mana… aku sampai cape keliling-keliling daerah sini.” Kata gadis itu dengan nada kesal.
“Ngapain juga kau mencariku, aku-kan sudah besar…hehehe…”
“Eh, dibilangin malah ketawa, aku sampai khawatir, takut kalau kau sampai bunuh diri! Untung saja, tadi jumpa sama kak Shanti… lalu dia bilang kau ada di sini.”
“Lalu …?”
“Aku datanglah ke sini mencarimu.”
“Lalu…?”
“Untungnya kau tak tampai bunuh diri. Aku sampai bersyukur kepada Tuhan, karena kalau kau sampai bunuh diri…”
“Lalu …apa…? Mau bunuh diri juga?”
“Ah, abang ini ada-ada saja. Siapa juga mau mati sama abang.”
“Kalau begitu, aku terjun saja.”
“Eh…, jangan…jangan…” Gadis itu langsung memegang tangan Bonar dengan erat, sepertinya dia tidak rela kehilangan Bonar. “…aku hanya bercanda kok!” Kemudian, gadis itu merebahkan diri di pelukan Bonar sambil menangis tersedu-sedu. “Kan, kalau abang mati, aku dengan siapa dong…” Katanya kemudian.
Dalam hati, Bonar seperti kembali menemukan dirinya. Dia sungguh sungguh seperti seorang yang sangat kecil dimata Tuhan. Tadi, dia sendiri telah mempersalahkan Tuhan. Dia tidak tahu mengapa dia sampai seperti itu. tetapi suatu keyakinan kembali timbul dalam hatinya, bahwa kasih Tuhan itu kekal selama-lamanya.