Selamat datang bagi teman-teman yang ingin mencari informasi tentang ilmu pengetahuan, renungan harian dan berbagai hal dan juga dapat berbagi hal di sini...!!!

Rabu, 05 Januari 2011

Analisa Terhadap Tulisan Jean Paul Sartre Tentang Eksistensialisme Humanisme


A. Pendahuluan
Eksistensialismen Humanisme adalah pidato yang diberikan oleh Jean-Paul Sartre dalam suatu kesempatan kuliahnya. Teks ini adalah pembelaannya terhadap eksistensialisme. Ditengah badai kritik yang datang terhadap esksistensialisme, Sartre mencoba membelanya dan menegaskan bahwa eksistensialisme tidak ada bedanya dengan humanisme.
Pada karya tulis ini, saya ingin kembali mengungkapkkan pendapat ini dan memunculkannya sebagai wacana yang harus direfleksikan kembali. Ini akan dilihat dari sudut dan latar belakan kepribadian dari sang tokoh sendiri. Kita harus kembali melihatnya sebagai suatu bagian yang harus dipertimbangkan lagi. Latar belakang kehidupan seseorang mempengaruhi setiap pendapat yang keluar dari dalam mulutnya.

B. Sekilas Tentang Jean Paul Sartre
Bagian ini murni saya ambil dari Buku Seri ’90 Menit’, terbitan Airlangga Jakarta, halaman 4-77.
Jean Paul Sartre diceritakan lahir dari keluarga Borjuis. Dia melihat peristiwa kematian ayahnya wakut dia berumur satu tahun sebagai peristiwa besar dalam hidupnya. Dia berkata: “Andai saja dia masih hidup, ayahku tentu akan menginjak-injak dadaku dan terus menghajar aku.” Sartre bertumbu menajadi seorang pembenci dan pembangkang, terutama bagi para kaum borjuis. Ini justrus sangat aneh. Dia dilahirkan dan tumbuh di kalangan elit itu, akan tetapi dia membenci mereka. Mengapa demikian? Ini menjadi hal aneh yang pernah saya lihat. Sartre mengklaim bahwa dirinya tumbuh besar tanpa kepatuhan seorang anak, dengan menyangkal fantasi Oedipus Kompleks ini.
Kemudian, Ibu Sartre, Anne-Marie membawanya tinggal di rumah orang tua imunya di pinggiran Paris. Di tempat ini, mereka diperlakukan sama seperti anak-anak. Ini membuat sartre lebih menganggap ibunya sebagai kakak sendiri daripada ibu. Dia mengakui tidak memerlukan figur ayah. Ia lebih membutuhkan figur ibu-kakak ini menjadi sebuah kebutuhan. Dia dikelilingi perempuan-perempuan yang sangat menyayanginya. Ini membuat kehidupan masa kecil Sartre sepertinya sangat bahagia sekali.
Sartre mulai mampu menutupi kelemahannya sendiri. Dia mulai mendeklarasikan dirinya sebagai seorang jenius. Kakeknya sendiri bahkan menganggap dia sebagai harta ‘harta karun kecilnya’ ketika dia merengkuh anak itu dalam pangkuannya. Hingga pada suatu saat Sartre kecil mengalami kecelakaan hinggal pada akhrinya dia mengalami juling akibat komplikasi penyakit yang dialaminya. Namun dalam waktu singkat, solipsisme dapat menyinkirkan segala cela dari cacat macam ini, dan petualangan perasaan Sartre yang kekanak-kanakanpun berlanjut.
Hingga pada suatu saat, ibu Sartre menikah lagi dengan seorang borjuis bernama Joseph Mancy. Lelaki borjuis itu adalah direktur dari perusahaan galagan kapal lokal Delaunay-Bellville, yang menjalankan bisnisnya dengan efisien melalui cara-cara kapitalis yang usang. Dia menganggap bahwa ibunya terpaksa menikah dengan lelaki boruju itu.
Saat Perang Dunia I meletus, banyak dari anak-anak yang tinggal bersama ibu mereka karena ayah mereka harus pergi untuk berperang. Angka kematian pun bertambah banyak dan banyak dari antara anak-anak itu butuh kompensasi untuk melepas kepedihan mereka. Akan tetapi, Sartre telah mengembangkan ambivalensi yang begitu nyata, dan tidak mau menyesuaikan diri dan bergabung dengan teman-temannya yang dianggapnya dungu, walau sebenarnya dia ingin sekali mereka terima.
Sartre hanya menghabiskan waktu sendiri di kamarnya, seperti seorang pangeran. Dia mulai menuliskan otobiografinya dan kemudian menuliskan novel-novelnya. Pada umur empat belas tahun, ia menyelesaikan novelnya yang kedua. Kombinasi ketakutan, kekerasan dan ekstremitas hidup merupakan ciri khas dari karya-karya Sartre dewasa.
Pada usia lima belas tahun, Sartre mulai menjadi pembaca yang sangat lahap. Banyak buku yang mulai dibacanya, bahkan hingga buku-buku yang melampui batas pengertian intelektual dan emosionalnya. Sementara tulisan-tulisannya sendiri meluas meliputi catatan-catatan yang berupa aforisme dan spekulasi filosofis.
Kemudian dia berhasil lulus dan masuk di Ecole Normale Superieur, tetapi tak ada yang benar-benar normal di sekolah itu. Dia menjadi mahasiswa yang sangat terkenal di sekolah itu. Di sekolah itu juga di menjadi seorang peminum bir dan pecandu seks. Tetapi, pengetahuan dan buku-buku masih mendapat tempat paling baginya. Semua buku telah dibacanya kecuali buku referensi yang diberikan oleh dosennya. Hingga, dia pun mengalami kegagalan pada saat tes oertama agregasinya (ujian penghabisan). Walaupun demikian, dia tidak merasa minder dan putus asa.

C. Teks Ringkasan Eksistensialisme Humanisme
Saya mengambil dari ringkasan yang diberikan oleh Rm. Robertus Widjanarko, CM, PhD dalam kuliah Filsafat Kontemporer, sebagai acuan dari bagian ini. Walau nanti saya juga akan mengambil beberapa penjelasan tambahan dari teks lain. Ini saya lakukan untuk lebih memperjelas lagi apa yang ada dalam ringkasan itu.
Pada bagian awal dari teks ini, Sartre memaparkan beberapa kritikan terhadap eksistensialisme, yang diberikan oleh beberapa kelompok. Sartre memulai pembahasan bagian ini dengan mengemukakan pendapat dari orang-orang komunis yang mengatakan bahwa eksisternisalisme merupakan filsafat dari kaum borjuis yang menunjukkan sifat-sifat untuk menarik dirinya ke kontemplasi elit. Bisa dikatakan, eksistensialisme adalah filsafat untuk orang yang sudah kenyang akan filsafat. Eksistensialisme tidak mengajarkan kehidupan sosial.
Pendapat lain tentang eksistensialisme yang diungkapkan oleh Sartre datang dari gabungan kaum komunis dan katolik. Pendapat itu mengatakan bahwa eksistensialisme adalah suatu pandangan yang pesimistis, negatif. Eksistensialisme sepertinya suatu pandangan yang putus asa dalam pencarian hakekat manusia. Eksistensialisme cenderung menilai manusia itu jahat dan diperbudak oleh institusi-institusi Gereja maupan masyarakat.
Sedangkan, pendapat yang terakhir datang dari orang-orang kristen secara umum. Mereka berpandangan bahwa eksistensialisme adalah pandangan yang menolak aneka nilai, moralitas, atau ajaran yang diyakini berawal dari vertikalitas transenden yang dijadikan sebagai starndart, norma bagi manusia dalam melakukan kehendaknya. Dengan kata lain, eksistensialisme tidak mengajarkan moral sama sekali. Dalam eksistensialisme, manusia itu menjadi relatifistik.
Semua pendapat itu membuat Sartre mulai bereaksi. Dia berusaha menjawabi kritikan itu dalam suatu tulisan singkat, atau lebih tepatnya dapat kita sebut sebagai suatu naskah pidato yang diberinya judul “Eksistentialism is a Humanism” pada tahun 1946. Dia memulai menjawabi pendapat itu dengan mengungkapkan tipe-tipe humanisme. Dia berpendapat bahwa kristianitas ataupun religiositas adalah suatu teori tengan interpretasi manusia sebagai suatu yang paling akhir dan yang paling sempurna. Modernitas ataupun sekularitas juga sama dengan religiositas. Sedangkan, para eksistensial berpendapat bahwa manusia sebagai sesuatu yang responsibel, bebas, pribadi yang transenden, temporal eksistensial bukan reduksibel juga, atau predeterminan oleh sebua esensi.
Pembelaannya kemudian dilanjutkan mendefinisikan eksistensialisme. Dia mengatakan bahwa eksistensialisme adalah suatu hal yang membuat manusia mungkin untuk bebas memilih. Manusia it adalah apa yang dia buat atau apa yang dia produksi. Manusia harus ada dulu baru bisa mendefinisika hakekatnya. Manusia sangat bergantung pada subyek yang eksist, karena itu ia bebas memproduksi identitasnya. Tidak ada hakekat manusia yang diimposisikan ada sebelum dia ada. Eksistensi mendahului esensi.
Sartre menjelaskan kalau hakekat manusia selalu melekat pada eksistensinya. Kalau ada yang menanya tuhan dan sudah menetapkan semuanya, berarti manusia hanya menjadi budak-budak dari tuan. Ini akan menjadi suatu yang membosankan.
Kemudian, dia menjelaskan perbedaan antara eksistensi dan esensi. Dia menjelaskan kalau esensi menunjukkan bahwa manusia sudah ada sebelaum manusia itu eksist. Manusia sudah ada sebelaum diciptakan dalam pikiran Tuhan. Sedangkan karakteristik eksistensi adalah jika Tuhan tidak ada maka ada suatu makhluk dalam mana eksistensi mendahului esensi, yaitu humanbeing. Inilah yang disebut being for it self. Hakekat diri manusia semacam itu merupakan mentalitas yant bertanggung jawab.
Dengan demikian, Sartre menegaskan kalau manusia itu adalah makhluk yang bebas. Identitas menusia adalah apa yang dia produksi. Identitas adalah pembentukan terus menerus diri manusia. Manusia itu ada (muncul atau terlempar). Bagi kaum eksistensialis dan fenomenolog, manusia itu tiba-tiba ada, manusia makhluk yang bebas, atau bisa juga dikatakan sebagai manusia kebebasan. Manusia itu bertanggung jawab.
Manusia di dalam dirinya yang paling dalam ada keinginan untuk mempertahankan dirinya. Pilihan yang paling baik dari yang lain adalah pilihan-pilihan yang dapat melestarikan dirinya. Pilihan yang dibuat kalau kamu bertanggung jawab terhadap dirimu, bertanggungjawab juga terhadap orang lain.
Sartre memberi kesimpulan bahwa sebenarnya eksistensialisme yang dikritik oleh ketiga kelompok di atas bukanlah demikian adanya. Mereka memandang eksistensialime terlalu sempit. Padahal menurutnya eksistensialisme adalah bagianyang tidak terpisahkan dari humanisme.

D. Kesimpulan dan Relevansi
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari tulisan di atas adalah eksistensialisme tidak memiliki prisnsip atau suatu nilai apapun yang bisa memastikan suatu atas yang lainnya. Konsepsi eksistensialisme mengenai kebebasan murni tanpa batas pada makhluk berkesadaran inilah yang menghasilkan keseipulan bahwa eksistensialis tida mungkin memiliki etika. Dengan demikian, kita dapat menilai bahwa eksistensi yang ditawarkan oleh Sartre bisa menjadi solusi dari pemikiran-pemikiran sempin yang timbul seputar eksistensialisme.









Daftar Pustaka
Strathern, Paul, 90 Menit Bersama Sartre, Jakarta: Airlangga, 2004
Lavine, L. Z , Sartre-Filsafat Eksistensialisme Humanis, Jogjakarta: Jendela 2003

Tidak ada komentar: