Selamat datang bagi teman-teman yang ingin mencari informasi tentang ilmu pengetahuan, renungan harian dan berbagai hal dan juga dapat berbagi hal di sini...!!!

Kamis, 17 September 2009

my life I

BAB II


BAB I

PENDAHULUAN


1 . 1. Latar Belakang Penulisan

Setiap manusia pasti mempunyai banyak kekurangan dimasa lalunya. Dan jika kekurangan ini tidak diperbaiki, akan dapat mempengaruhi kepribadiannya di masa sekarang maupun masa depannya nanti.

Demikian juga saya sendiri sebagai seorang manusia dan yang sedang menjalani panggilan sebagai calon imam atau pun sebagai biarawan, saya perlu memiliki kesadaran yang kuat akan kepribadian saya, yakni dengan mengenali siapa saya dan bagimana masa lalu saya. Hal ini perlu karena dapat memperngaruhi tugas pelayanan yang akan saya emban nantinya. Terutama sebagai seorang calon imam yang nantinya akan menjadi gembala umat, setidaknya harus mempunyai kepribadian yang sehat dan menyadari betul posisinya sebagai pribadi yang tak luput dari kekurangan-kekurangan.

Seandainya tidak demikian, saya mungkin akan menjadi seorang calon imam yang mempuyai kepribadian yang sangat buruk. Dan ini akan berdampak pada perjalan panggilan, tugas dan diri saya. Misalanya saja, saya ini adalah seorang yang sangat menderita sewaktu kecil, yang sangat haus akan kasih sayang dari orang lain. Nah, saat saya tidak menyadari kekurangan inilah yang akan membuat saya menjadi seorang yang selalu mencari-cari pelarian. Dengan kata lain, masa lalu ini akan menjadikan saya sebagi seorang yang selalu mencari relasi, untuk memuaskan kehausan saya akan kasih sayang. Atau mungkin juga sebagai tempat untuk mencari kekayaan pribadi. Dan ini sangat tidak sesuai lagi dengan semangat panggilan saya, yang menekankan kemurnian, kemiskinan dan ketaan. Masalah ini pulalah yang akan mengakibatkan adanya pilih kasih jika sudah menjadi imam nantinya. Pada hal seorang imam tidak boleh pilih-pilih, tetapi harus memberi perhatian secara menyeluruh. Dari perlunya mengenal diri inilah, saya ingin mencoba melihat kembali ke dalam masa lalu saya.

Di Karmel sendiri, hal ini sudah menjadi progam awal dalam pendidikan pada calon imam maupun biarawan dan biarawati. Kita dapat melihat dalam RIVC (Ratio Institutionis Vitat Carmelitanae) yang mengatakan bahwa setiap formandi perlu menjadi sadar akan identitas, dan kelemahan mereka.1

Lalu, apa hubungan masa lalu dengan dengan pengenalan diri ini?

Menurut Sigmund Freud, dalam “Psikoanalisis”-nya mengatakan bahwa: ‘alam bawah sadar yang merupakan bagian dari masa lalu kita, sangat mempengaruhi alam sadar kita, yakni segala perbuatan kita di masa kini’.2

Oleh sebab itu, saya ingin mencoba untuk membuat karya tulis ini dengan sebaik-baikanya, dan berusaha untuk jujur kepada diri saya sendiri. Dalam karya tulis ini saya akan mencoba memaparkan apa–apa saja yang pernah saya alami dari dulu sampai sekarang. Jadi, penulisan karya tulis ini bukanlah sekadar pembuatan karya tulis biasa, yang hanya tertulis begitu saja, tetapi juga merupakan suatu refleksi yang saya buat berdasarkan pengalaman saya sendiri dan mengaitkannya dengan apa yang pernah saya dapat mengenai kepribadian sesuai dengan tuntutan formasio, yang menginginkan saya sebagai seorang manusia yang harus mencapai tingkat kematangan yang cukup secara manusiawi, untuk menghayati panggilan saya di Karmel3.

Dari beberapa keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam menjalani panggilan ini saya harus mampu dan mau mengenal diri, agar dapat lebih sadar untuk mengambil keputusan. Dan kesadaran ini mutlak harus saya miliki, karena tugas pelayanan, sebagaimana yang diinginkan Kristus sendiri dalam kitab suci. Cita-cita ini sangatlah berat bagi orang yang belum mampu dan mau mengenal seapa dirinya secara utuh. Bagaimana mungkin seseorang bisa melayani orang lain, jika ia tidak lebih dahulu sadar akan dirinya, akan apa yang dimilikinya dan dengan apa yang akan dilakukannya? Pertanyaan ini akan menjadi alasan yang sangat mendasar bagi saya untuk memulai karya tulis ini. Dan saya akan mencoba untuk menyadari apa yang saya tulis ini demi diri saya dan perjalanan panggilan saya.


1 . 2. Tujuan Penulisan

Sepeti yang telah saya uraikan di atas, mengenai apa yang melatarbarlakangi penulisan karya tulis ini adalah kemauan saya untuk membenahi kepribadian saya, agar mampu manjalani panggilan ini dengan lebih baik tanpa dipengaruhi oleh keinginan-keinginan buruk saya. Maka, sekarang saya akan mencoba menguraikan lebih lanjut mengenai tujuan dari penulisan kaya tulis ini

Dalam bagian 1.1, saya telah menjelaskan bahwa perilaku atau pun sifat yang tampak dalam diri kita saat ini sangat dipengaruhi oleh apa yang pernah kita alami dahulu, yang tersimpan secara tidak sadar dalam memori kita.4 Dan ini sangat mempengaruhi pemikiran kita akan panggilan hidup bakti yang sedang dijalani. Contohnya:

Ada sebagian orang yang ingin masuk biara hanya sebagai suatu pelarian, agar terbebas dari orang-orang yang pernah membuat mereka kecewa. Karena mereka menganggap bahwa biara merupakan tempat yang aman untuk menghindar dari orang-orang yang selalu membuatnya menderita. Jadi, dia sendiri akan membuat biara sebagai tameng untuk melindungi diri dari masalah yang pernah dihadapinya dan dengan sendirinya melupakan tujuan hidup membiara (terutama sebagai Karmelit) yang sebenarnya, yakni penyerahan diri seutuhnya untuk mengikuti jejak Kristus dengan lebih bebas.5 Jadi, kebebasan untuk menjalani panggilan Kristus itu tidak ada lagi dalam dirinya.

Dari contoh di atas saya ingin mengatakan bahwa melalui karya tulis ini, semoga saya mampu menjadi seorang pribadi yang mempunyai motifasi yang lebih murni untuk benar-benar menjadi seorang yang mau mengikuti jejak Kristus. Dan keinginginan untuk memiliki motifasi yang murni dan lebih bebas tersebutlah yang membuat saya ingin membuat karya tulis ini.

Setelah melihat beberapa penjelasan di atas, maka saya ingin mengatakan bahwa tujuan pembuatan karya tulis ini adalah agar saya dapat melihat kembali kebelakang, tentang apa yang pernah saya alami, yang mungkin akan mempengaruhi saya dalam menjalani panggilan ini. Dan semoga dengan penemuan ini saya menjadi seorang pribadi yang mampu mengenali diri dan lebih bebas untuk menentukan jalan panggilan saya nantinya.


1 . 3. Metode Penulisan

Saya akan menggunakan berbagai metode dalam pembuatan karya tulis ini, mulai dari berbentuk seperti ilmiah maupun dalam bentuk reflektif. Dan yang menjadi ciri khas dari karya tulis ini dari karya tulis yang lain terlatak pada refleksi pribadi tentang keseluruhan perjalanan kehidupan saya yang akan saya paparkan dengan lebih jelas. Sehingga saya pun dapat meperbaiki diri dalam menjalani kehidupan selanjutnya.

Akan tetapi seperti karya tulis pada umumnya, saya tentunya akan menggunakan sumber-sumber yang dapat mendukung pembuatan karya tulis ini, seperti catatan harian pribadi, refleksi pribadi, pengetahuan dari apa yang masih ada dalam benakku, hasil dari pengolahan-pengolahan yang pernah saya terima sampai dengan buku-buku (catatan harian pribadi serta bacaan rohani yang pernah saya baca) dan pelajara-pelajaran yang pernah saya dapatkan. Lalu, saya akan menyisipkan hal-hal yang saya temukan dari bahan-bahan ini ke dalam apa yang telah saya tuliskan dan saya refleksikan dalam karya tulis ini. Sehingga akan menjadikannya suatu perpaduan kata-kata yang dapat saya mengerti secara lebih mudah. Saya mengharapkan metode-metode ini akan mempermudah saya dalam memahami isi dari karya tulis ini dan yang terutama memahami kepribadian saya yang tertuang dalam karya tulis ini.































BAB II

AKU DAN ORANG ORANG DI SEKITARKU


Sebagian besar kepribadianku ini sangat diperngaruhi oleh orang-orang di sekitarku, seperti; keluarga, masyarakat sekitar, bahkan juga oleh teman-temanku. Sehingga banyak yang ada dalam diri saya secara pribadi, mungkin saja belum saya sadari sepenuhnya. Dan saya harus mau mengenali segala yang ada dalam diriku, baik itu sifat, pola pikir, karakter dan masih banyak hal lain, untuk perkembangan kepribadianku.

Oleh sebab itu, dalam bab yang kedua ini saya akan menguraikan siapa-siapa saja yang menjadi orang-orang yang pernah dekat dengan saya dan bagaimana mereka dapat mempengaruhi kepribadian saya, sejauh saya mampu melihat dan merasakannya.


2.1. Masyarakat di Sekitarku

Keluarga saya tinggal di salah satu desa di daerah kabupaten Asahan. Tepatnya di dekat pantai sebelah Timur Laut propinsi Sumatera Utara (sekitar Selat Malaka). Nama daerah itu adalah desa Pematang Panjang dusun sembilan (lebih sering disebut Kampung Kelapa, karena di perkampungan itu sangat banyak ditumbuhi pohon kelapa, sebagaimana di daerah dekat pantai pada umumnya). Jarak antara desa saya dengan pantai hanya tujuh belas kilometer. Oleh sebab itu, kondisi tanah di tempat itu masih berpasir-pasir.

Untuk lebih jelasnya saya akan menjelaskan bagaimana keadaan masyarakat di sana, mungkin dengan panjelasan ini akan dapat membantu saya untuk mau menjelaskan bagaimana keseharian saya dahulu.


2.1.1. Keadaan Ekonomi

Seperti masyarakat desa di daerah dataran rendah pada umumnya, di desaku hampir seluruh penduduknya hidup dari bertani (termasuk sekuargaku). Hasil pertanian yang paling utama adalah padi. Pola tanam serta waktu tanam selalu di perhatikan pemerintah daerah, bahkan mungkin menjadi salah satu agenda mereka. Hal ini sangat tampak dari irigasi yang tergolong sangat baik. Semuanya itu bertujuan untuk mencegah kekurangan pengairan ke sawah-sawah.

Semua usaha pemerintah itu ternyata tidak sia-sia. Sejak tahun 2002 yang lalu, desaku sudah menjadi salah satu daerah swasembada beras atau pemasok beras di propinsi Sumatera Utara. Jadi, boleh dikatakan bahwa di desaku tidak pernah kurangan beras.

Walaupun demikian, keadaan ekonomi penduduk di daerah itu masih tergolong dalam kelas menengah ke bawah. Hal ini terlihat dengan jelas, dari masih kurangmampunya masyarakat di desaku untuk memenuhi kebutuhan keluaraga, jika hanya dari hasil pertanian. Tapi, ketekunan mereka dalam bekerja telah membuat itu semua bukanlah suatu masalah yang besar dalam keluarga mereka. Dan untuk menanggulangi semuanya itu mereka selalu mencari pekerjaan sampingan.


2.1.2. Keadaan Sosial

Mayoritas penduduk di desa saya adalah pendatang dari daerah lain, yang mepunyai latar belakang, suku, ras, dan agama yang berbeda satu dengan yang lain. Walupun demikian, di desa saya ini, atau lebih tepatnya di kampung saya ini, kehidupan sosial dalam bermasyarakat sangat baik. Seluruh warganya rukun-rukun saja, walaupun terdiri dari latar belakan suku, ras dan agama yang berbeda. Perbedaan itu tidak pernah menjadi suatu masalah yang cukup serius. Hal ini sangat tampak dari perayaan-perayaan, yang berhubungan dengan adat, keagamaan ataupun yang berkaitan dengan desa, selalu dilaksanakan secara bersama-sama. Seluruh warga selalu ikut berperan aktif dalam pelaksanaannya. Perencaannya pun selalu dilaksanakan secara musyawarah.

Di samping itu, kegiatan gotong royong pun selalu digalakkan, terutama ketika menyambut acara-acara besar, seperti hari-hari besar agama, HUT Kemerdekaan RI, menyambut tahun baru, dan terutama ketika musim tanam sudah tiba. Kegiatan kerja bakti tersebut selalu ramai diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat, baik itu kaya-miskin maupun tua-muda.


2.1.3. Keadaan Kebudayaan

Seperti yang telah saya utarakan di atas, mayoritas penduduk di desa saya adalah pendatang dari daerah lain. Di daerah saya, terdapat empat suku yang tergolong suku mayoritas, yakni Melayu Batubara/ Melayu pesisir (suku setempat), Batak Toba, Batak Karo, dan Jawa. Disamping itu juga terdapat suku-suku lain, seprti etnis Tionghoa, Batak Simalungun. Setiap suku boleh dikatakan mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Akan tetapi, hal itu tidaklah menjadi suatu yang menghambat kerukunan antara suku yang satu dengan suku yang lain. Bahkan untuk saya sendiri, keanekaragaman ini juga dapat membuat saya jadi tahu lebih banyak tentang kebudayaan yang ada di negaraku yang tercinta.

Dalam perbedaan kebudayaan ini pulalah saya dilahirkan dan dibesarkan. Salah satu kebudayaan yang paling mempengaruhi kepribadianku, selain suku saya sendiri (Suku Toba), adalah Melayu. Orang Melayu yang sangat fanatik dengan apa yang dimilikinya, yang mungkin telah membuatku menjadi orang yang sangat susah untuk menerima idealisme yang baru dan berbeda dengan idealisme yang telah saya miliki sebelumnya. Ini yang selalu membuat saya lebih cenderung untuk mempersalahkan orang lain, padahal saya sendiri belum tentu benar.

Akan tetapi, perbedaan ini juga yang mengajarkan kepada saya agar mampu menghormati dan lebih toleran kepada orang dari latar belakan budaya yang berbeda. Bahkan dapat membuat saya sendiri selalu ingin mempelajari budaya orang lain, yang mungkin dapat melebur idealisme yang ada dalam diri saya.


2.2. Keluargaku


2.2.1. Asal Usul Keluargaku

Keluarga saya masih tergolong keturunan suku Batak Toba, yang sangat mematuhi adat-istiadat yang telah diwariskan oleh leluhur. Kedua orang tua saya tidak sekalipun mau melanggar adat yang ada. Bahkan mereka selalu mengatakan agar selalu mengingat adat-istiadat leluhur di mana pun kami berada nantinya, dan jangan sekalipun mencoba untuk melanggar inti adat, yang sering disebut dengan ‘Dalihan Natolu’6, yang berisi tiga aturan yang mau tidak mau harus dipatuhi oleh setiap orang Toba. Ketiga aturan itu adalah ‘somba marhula-hula’ (hormat kepada keluarga besan), ‘elek marboru’ (jangan memaksakan kehendak kepada pihak dari keluarga perempuan), dan ‘manat mardongan tubu’ (hati-hati bila bersikap kepada saudara semarga ataupun serumpun/ sepupu, walupun bukan keluarga kandung). Akan tetapi, saya tidak akan membahas terlalu panjang lebar mengenai ketiga aturan ini, karena masih banyak yang harus saya utarakan disamping itu, yang saya rasa lebih penting bagi perkembangan kepribadian saya.

Kedua orang tua saya masih mempunyai hubungan keluarga, yang memang sudah cukup jauh. Tapi, mereka tidak pernah melupakannya. Secara adat, hubungan kekeluargaan mereka adalah sebagai ‘pariban’, yakni hubungan dalam keluarga dan secara adat boleh dijadikan sebagai pasangan hidup atau bahkan sudah ditetapkan demikian.

Dari hubungan kekeluargaan ini, kemudian mereka pun menjalin hubungan yang lebih erat dalam sakramen pernikahan pada tanggal 23 Sebtember 1984 di gereja Katolik St. Petrus, Cinta Damai, setelah menjalin hubungan cukup lama. Dari buah pernikahan mereka inilah saya dan keempat adikku terlahir, dan menjadi sebuah keluarga yang selalu diombang-ambingkan oleh masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan.


2.2.2. Anggota Keluargaku


2.2.2.1. Ayah

Ayah saya sendiri lahir tanggal 23 Mei 1963 di daerah Simalungun dan besar di daerah itu. Beliau adalah anak tiga dari tujuh bersaudara. Dia adalah seorang guru yang tergolong sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) di SLTP Negeri 1 Medang Deras, Kabupaten Asahan. Pekerjaan ini beliau dapatkan setelah beliau berusaha mengikuti ujian/ tes menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil), sesudah menyelesaikan pendidikannya di SMU Kampus FKIP Universitas HKBP Nomensen, Pematang-siantar,dan diterima. Kemudian beliau langsung ditempatkan di propinsi Daerah Istemewa Aceh (sekarang: Nangroe Aceh Darussalam).

Karena kurang bebas untuk menjalankan ibadah (bagi yang beragama Kristiani) di daerah itu, dia menjadi tidak betah tinggal di daerah tersebut dan setahun kemudian dia meminta agar ibu mengajukan permohonan pindah kembali ke Sumatera Utara. Maka, ibu pun mengajukan permohonan ke KANWIL DISPENJAR (Katntor Wilayah Dinas Pendidikan dan Penganjaran), yang dulu disebut KANWIL DEPDIKBUT (Kantor Wilayah Departemen Pentitikan dan Kebudayaan), di Medan dengan menjadikan saya yang saat itu masih berusia belum genap satu tahun sebagai alasan, yakni dengan mengatakan saya selalu rindu dengan ayah. Dengan susah payah akhirnya permohonan, yang menjadikan saya sebagai alasan tersebut, diterima juga. Dengan demikian, Beliau pun ditempatkan di SLTP Negeri tempat ia mengajar hingga sekarang.

Kemudian lebih-kurang tahun 1993-an beliau mengikuti kuliah jarak jauh, dengan mengambil jurusan matematika. Ia mengambil kuliah jarak jauh karena kesibukannya sebagai guru dan sampai sekarang ia telah mengabdi selama lebih-kurang sembilan belas tahun sebagai guru. Pada tahun 1996, beliau berhasih menyelasaikan progran Diploma tiga (D3) dan tahun 1998 menyelesaikan program Strata satu (S1).

Karena kesehatannya yang semakin memburuk, ia pernah juga meminta pindah tugas ke SLTP Negeri 2 Air Putih, yakni sekolahku dulu. Hal ini disebabkan karena jarak antara rumahku dan sekolah tempat ia mengajar pada saat itu sangat jauh, yang butuh satu jam perjalanan naik motor untuk sampai ke sekolah itu. Akan tetapi permintaannya itu tidak dikabulkan oleh atasannya.

Di samping aktif di dunia pendidikan, beliau juga aktif dalam kegiatan menggereja. Banyak hal yang telah dilakukannya untuk gereja, terutama di stasi saya, setidak-tidaknya sejak didirikan kira-kira tahun 1985. Dia pernah menjadi pembimbing MUDIKA, ketua PAK (Punguan Ama Katolik) jika diterjamahkan ke dalam bahasa Indonesia akan mempunyai arti, Perkumpulan Bapak Katolik. Beliau juga dikenal sebagai satu-satunya pengiring lagu liturgi dalam setiap perayaan liturgi di gereja, dalam setiap menggunya.

Beliau juga sangat rajin bekerja dan tergolong orang yang sangat keras, terutama dalam hal mendidik. Saya sendiri dididik dengan sangat keras olehnya, terutama dalam hal pendidikanku. Kekerasa tersebut bukan saja dengan omongan di mulut, bahkan dengan kekerasa secara fisik pun akan dilakukannya. Saya sudah merasakan didikan yang keras tersebut sejak usia lebih-kurang lima tahun. Ia berprinsip: sebagai anak pertama, saya harus dapat menjadi panutan bagi adik-adikku.

Saya masih ingat salah satu didikan yang paling keras, yang pernah saya terima. Ketika itu, saya masih kelas tiga SD. Memang awalnya karena keteledoran saya juga, karena saya tidak memperhatikan adik saya, yang masih kecil terjatuh dari kursi. Ketika mengetahuinya, ayah marah besar kepada saya dan saya dipukul habis-habisan. Bahkan, ia sempat berkata akan membunuhku saat itu juga, jika terjadi apa-apa dengan adikku itu. Oleh karena didikan yang keras itulah, saya pernah menjadi sangat takut dan benci kepada ayah. Hingga saya pernah mengangapnya sebagai monster yang menakutkan dan perlu dihindari, yang berdampak juga pada hubungan antara saya dengannya tidak dapat dikatakan lagi sebagi ayah dan anak. Ketegangan itu terus berlangsung hingga saya duduk di kelas tiga STM.

Barulah setelah saya mengambil jalan hidup ini, saya dapat menyadari; bahwa semua itu ayah lalukan semata-mata untuk saya juga. Hanya saja caranya yang agak kasar. Dan sejak saya menyadari hal ini, kami pun semakin akrab. Keakraban itu tampak dari celoteh-celoteh kami, kebersamaan dalam keluarga, dan masih banyak lagi.


2.2.2.2. Ibu

Ibu saya sendiri lahir di daerah kabupaten Asahan, yakni di daerah orang-orang Melayu pesisir, pada tanggal 30 Oktober 1959( atau lebih tepatnya kampung saya sekarang). Ibu adalah anak pertama dari enam bersaudara. Hampir seluruh masa hidupnya dilaluinya di daerah itu, kecuali saat dia masuk SPG (Sekolah Pendidikan Guru), di SPG Katolik Cinta Rakyat Pematangsiantar. Tetapi sekarang, SPG tersebut sudah tidak ada lagi, karenanya gedung SPG tersebut dijadikan menjadi gedung SD Katolik Cinta Rakyat 1dan 3 Pematangsiantar, yang letaknya di Jl. Bali, Pematangsiantar (di samping patoran Paroki Jl. Bali, yang dulu bekas biara Karmel). Setelah menyelesaikan pendidikan di SPG tersebut, beliau mengikuti test masuk PNS, dan akhirnya diterima. Dan untuk selanjutnya mengabdi sebagai tenaga pengajar di SD Negeri 014709 Desa Pematang Panjang, Kecamatan Air Putih-Kabupaten Asahan. Sekarang, beliau telah mengajar lebih-kurang 25 tahun di SD tersebut, dan menjabat sebagai pembantu kepala sekolah bagian kesiswaan.

Beliau adalah orang yang sangat baik dan ramah, tidak pernah mau mengecewakan orang lain, terutama keluarganya. Beliau juga tergolong orang yang sangat rajin. Selain kegiatannya sebagai guru, ibu juga kerap kali mengambil kegiatan lain untuk mengisi waktu luangnya dan sekaligus untuk menambah penghasilan keluarga, seperti; merangkai bunga untuk pernikahan, dan menganyam pandan untuk dijadikan tikar atau bakul. Itu semua selalu dilakukannya jika ada waktu yang luang. Tetapi sekarang, itu semua sudah mulai dikurangi karena kondisi tubuhnya yang semakin lemah.

Selain itu beliau juga aktif dalam hidup menggereja. Beberapa kali ia menjabat baik itu di lingkungan maupun di stasi. Ia juga merupakan salah seorang perintis terbentuknya Legio Maria di stasiku, pernah aktif dalam seksi kewanitaan di stasi, dan terakhir menjadi bendahara lingkungan. Keaktifannya dalam hidup menggereja ini diwariskannya kepada kami anak-anaknya, terutama saya sendiri sewaktu masih kanak-kanak.


2.2.2.3. Saudara-saudari

Saya mempunyai empat orang adik yang terdiri dari; dua orang perempuan dan dua orang laki-laki. Mereka berempat tentu saja mempunyai sifat yang berbeda-beda, mulai dari yang sangat penurut sampai yang sangat suka menang sendiri. Hubunganku dengan mereka juga tidak selalu akur, ada-ada saja masalah diantara kami. Pada bagian ini, saya akan mencoba menuliskan siapa-siapa saja keempat adik saya tersebut dan bagaimana sifat mereka sejauh saya mengenal mereka.


  1. Deyanti Br Situmorang

Dia lahir di desa Pematang Panjang (di rumah nenek), pada tanggal 24 April 1988. Ia sekarang duduk di kelas tiga SMU Katolik Abdi Sejati, Perdagangan, dan tinggal di asrama puteri St. Lusia, yang letaknya masih satu kompleks dengan sekolah itu.

Sejak kecil, saya tidak pernah akur dengannya. Selalu saja ada pertengkaran di antara kami. Saya tidak pernah mengerti akan apa sebenarnya yang diinginkannya. Kami selalu saja mempunyai pendapat yang berbeda. Dan yang paling menjenkelkan lagi, dia itu sangat susah untuk diberitahu jika ia berbuat salah, maunya menang sendiri. Bahkan ia selalu menganggap diri yang paling tua dari antara kami berlima.

Akan tetapi, dibalik semua itu, ia juga tergolong orang yang rajin, suka bergaul dengan orang lain dan selalu mempunyai ambisi menjadi orang yang berhasil nantinya. Dalam hidup menggereja pun ia tidak kalah dengan yang lain. Selagi ia mampu, ia akan mengikuti setiap kegiatan yang diadakan di gereja.


b. Paulinus Situmorang

Dia lahir di desa Pematang Panjang (di rumah nenek), pada tanggal 24 Mei 1990. Ia sekarang duduk di kelas satu SMK (Kelompok Teknologi dan Industri/ STM) Katolik Abdi Sejati, Pematang Bandar, dan mengambil jurusan Elektonika/ Audio-Video. Hubuganku dengannya sangat akrab, tidak seperti hubunganku dengan adikku Deyanti. Dia orangnya sangat pemalas dan paling lamban di keluarga kami. Walaupun demikian, ia sangat penurut dan tidak suka melawan seperti kakaknya Deyanti. Tapi, kadang-kadang juga ia suka timbul malasnya.

Dalam keluarga, ia yang mempunyai tubuh paling besar diantara kami berlima. Banyak orang yang mengatakan kalau dia adalah kakakku, kalau sedang jalan sama-sama. Oleh sebab itu, kadang-kadang saya tidak mau jalan bersama dengannya.

Disamping itu, dialah salah seorang yang suka musik dari antara kami berlima. Dia selalu suka mendengar lagu dan menyanyikannya. Dalam waktu singkat ia mampu menghafalkan lagu yang baru saja diketahuinya. Tapi sayangnya, ia tidak tahu memanikan satu alat musik pun, karena tidak ada yang melatihnya.


c. Maria Magdalena Br Situmorang

Dia lahir di Kampung Kelapa, pada tanggal 22 Desember 1993. Ia adalah adik yang paling saya sayangi. Sifat kami berdua hampir mirip dan satu yang sangat kubanggakan dari dirinya adalah keaktifannya dalam kehidupan menggereja, seperti Legio Maria, di ASMIKA (Anak Sekolah Minggu Katolik/ Minggu gembira) dan selalu ikut dalam setiap acara yang diadakan oleh gereja (di stasi maupun di paroki). Dia sekarang duduk di kelas enam SD Negeri 014709 Desa Pematang Panjang.

Dari antara keempat adikku, dialah yang paling rajin bekerja. Setiap pagi ia sudah berada di dapur, untuk membantu ibu memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Dia juga sangat senang bila diminta membantu ayah di sawah. Kemauannya untuk berkembang pun sangat tinggi.

Disamping itu, dia sangat aktif dalam hidup mengereja. Keatifannya telah membawa dampak kepada adikku yang kelima, yakni Lambertus. Karena itu semua, teman-temannya menjadi senagn bergau dan sangat sayang kepadanya. Dia juga sangat ingin menjalani hidup membiara. Ia sering mengutarakan keinginannya ini kepada saya maupun ayah dan ibu. Tapi, sayang dia orangnya agak pemalu.


d. Lambertus Situmorang

Ia adalah sibungsu yang nakal. Dia lahir di Kampung Kelapa, pada tanggal 5 Maret 1996. Dia adalah anak yang paling manja dan paling disayang oleh ayah kami. Sekarang ia duduk di kelas lima SD Negeri 014709 Desa Pematang Panjang. Walaupun nakal, tapi dialah anak yang paling cerdas dan paling suka humor dari antara kami semua. Disamping itu, dia juga sangat senang apabila diminta pergi ke sawah untuk bantu-bantu.

Kemauannya untuk bekerja, menjadikan sifatnya lebih identik dengan sifat ayah, yang suka bekerja keras. Tapi disamping kerja keras, dia juga tidak lupa untuk selalu mengucapkan terimakasih kepada Penciptanya. Hal itu diwujudkannya dengan selalu berdoa dan turut aktif dalam hidup menggereja. Banyak kegiatan dalam gereja yang selalu diikutinya, seperti bina iman dan kegiatan pembinaan awal Legio Maria (yang dipusatkan kepada anak-anak seusianya). Dan yang paling unik lagi, ia selalu tidak mau ketinggalan dari kakak-kakaknya dalam segala hal, kecuali jika ia disarankan untuk masuk biara jika sudah besar nanti.


2.2.3. Keadaan Ekonomi Keluarga

Jika dilihat dari keadaan ekonomi penduduk di desaku, keluarga kami termasuk golongan ekonomi menengah. Tetapi jika dibandingkan dengan keadaan ekonomi di kota, keadaan ekonomi keluargaku masih jauh di bawah (Refleksi sewaktu pengolahan di Cangar). Dan sebenanya kondisi keuangan keluarga kami sebenarnya sangat paspasan, walaupun kedua orang tua saya adalah pegawai negeri sipil dan mempunyai gaji tetap.

Oleh sebab itu, untuk menggenapi yang masih kurang, keluarga kami masih mengelola sawah yang luasnya kira-kira satu hektar. Seluruhnya itu ditanami padi (Bdk. Bagian 2.1. tentang kaadaan ekonomi masyarakat sekitarku). Dari hasil pertanian inilah kedua orang tua saya mampu membiayai kehidupan seluruh anggota keluarga, sedang gaji mereka digunakan untuk biaya sekolah kami.



2.3. Orang-orang Terdekatku


2.3.1. Keluarga Dekat

Seperti yang telah saya ceritakan di atas, keluarga saya adalah keluarga Batak yang memegang teguh susunan adat-istiadat. Dan seperti orang Batak pada umumnya, kami pun masih mengingat sanak saudara yang lain, baik itu dari keluarga ayah dan ibu. Dalam bagian ini, saya juga akan menceritakan beberapa orang yang dekat denganku, baik itu yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga kami maupun orang lain, yang hanya merupakan teman atau sahabat.


2.3.2.1. Dari Keluarga Ibu

Saya sangat dekat dengan keluarga ibu, terutama nenek, yakni orang tua dari ibu. Saya adalah cucu pertama dari nenek. Sejak kecil saya selalu tinggal bersama nenek. Apalagi, jarak antara rumah keluargaku dengan rumah nenek hanya berjarak satu kilometer. Saat itu memang nenek hanya tuinggal sendiri di rumah, dan lagi keadaan kesehatannya sangat buruk. Ketika itu saya pun merasa tergerak untuk pergi menemani nenek.

Selama lebih kurang enam tahun saya tinggal bersama nenek, saya banyak mendapat pelajaran tentang hidup. Nenek selalu membimbingku agar selalu bekerja dengan setulus hati. Selama bersama nenek, saya merasa sangat bahagia, walaupun keadaan ekonominya lebih buruk dari keluargaku sendiri. Ada rasa yang membuat saya ingin selalu dekat dengan nenek. Hatiku selalu tidak tenang, jika saya harus meninggalkan nenek sendiri, apalagi dengan keadaan kesehatannya waktu itu yang semakin lama semakin memburuk. Mungkin ini semua disebabkan waktu yang telah saya habiskan bersama nenek yang cukup lama, yang membuat hubunganku dengan nenek semakin dekat.

Dari sini pulalah saya mulai akrab dengan paman dan tante-tanteku yakni adik-adik dari ibu. Mereka sangat sayang kepadaku. Setiap kali mereka pulang ke kampung, mereka selalu menannyakan keadaanku. Bahkan aku selalu dijuluki cucu kesayangan nenek. Hingga nenek wafat pada tanggal 4 Sebtember 2003 yang lalu, ketika itu saya masih berada di seminari, mereka tetap menyayangiku.


2.3.2.2. Keluaraga dari Ayah

Saya mulai akrab dengan keluatga dari ayah baru setelah saya duduk di kelas satu SMK (Kelompok Teknologi dan Industri/ STM) Negeri 2 Pematangsiantar. Ketika itu, saya sangat sering berkunjung ke rumah nenek, yakni orang tua dari ayah, yang tinggal di kecamatan Dolok Panribuan (Tiga Dolok), Simalungun. Daerah ini sangat terpencil dan kebanyakan penduduknya hidup dari pertanian yang kadang-kadang hasilnya sangat memprihatinkan. Dan hal yang paling sulit adalah saat memperoleh air, kalau di Kalidahu (tempat dimana saya pernah mengadakan ‘live-in’) masih ada sumur yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Tapi di daerah ini, kalau kita ingin mandi, kita harus mandi di parit yang letaknya di tepi jalan, dan kalau ingin mengambil air bersih (atau lebih tepat kita katakan; ‘agak bersih’) kita harus rela turun beberapa puluh meter ke sebuah sungai yang letaknya jauh di dalam jurang (mereka sering menyebutnya ‘binanga’).

Jarak daerah tersebut dari Pematangsiantar hanya lebih-kurang sepuluh kilometer. Oleh karena jaraknya yang lumayan dekat itu, saya selalu rutin berkunjung ke rumah nenek tersebut setiap minggu, kalau tidak ada kegiatan di tempat kost ataupun di sekolah.

Walaupun nenek saya ini agak cerewet, tetapi selama di rumah nenek ini, saya juga sering diajarkan untuk hidup apa adanya. Selalu bekerja keras dan banyak hal lain yang sering saya dapatkan dari orang-orang yang ada di daerah tersebut. Kadang-kadang selain ke rumah nenek, saya juga sering singgah di rumah kakak dari ayah saya (kalau orang batak sering menyebutnya dengan sebutan ‘pak tua’ atau ‘amang tua’)7 yang masih satu kecamatan dengan nenek. Sejak saat itulah, saya menjadi penghubung keluarga antara keluarga saya yang berada di desa Pematang Panjang (kampung halamanku) dengan yang ada di Dolok Panribuan/ Tiga Dolok.


2.3.2. Teman Teman yang Akrab

Saya mempunyai teman-teman yang akrab ketika masih duduk di bangku SLTP dan SMK. Mereka berasal dari suku, agama dan daerah yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Kebanyakan dari antara mereka berasal dari suku Batak baik itu, Toba, Simalungun, dan Karo, yang beragama Kristen Protestan dari berbagai sekte, seperti HKBP (untuk Batak Toba), GKPS (untuk Batak Simalungun), GBKP (untuk Batak Karo), Pentakosta, Betel, dan masih banyak lagi sekte yang lain. Namun, ada juga yang berasal dari suku-suku lain seperti Jawa, Minang, Melayu, Tionghoa, serta India. Selain dari agama Kristen ada juga yang beragama Muslim. Tapi sayangnya, tak seorang pun dari antara mereka yang beragama Katolik, seperti saya.

Dari perbedaan di atas, sudah pasti mereka juga mempunyai kepribadian yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Namun, perbedaan-perbedaan itu tidak menjadi penghalang bagi saya untuk akrab dengan mereka. Segala perbedaan itu malah membuat kepribadian saya menjadi terolah sedikit demi sedikit. Dan perbedaan itu pulalah yang telah mempengaruhi kepribadian saya sekarang ini, baik dalam pergaulan atau relasi, kebiasaan, dan pola pikir saya secara khusus.

Saya akan mencoba untuk menceritakan salah satu pengalaman saya dengan beberapa orang teman saya semasa STM, yang saya anggap paling dekat dengan saya dan benyak merubah sifat saya, mereka adalah Reslina br Gultom, Tuakem Situmorang, Maston Tambun, dan Marice br Sitohang.

Reslina adalah sahabat dan sekaligus kakak angkat saya. Dia seorang remaja yang sangat periang, dan sekaligus perasa. Sebenarnya dia masih satu angkatan dengan saya, bahkan semasa SLTP, kami adalah teman sekelas. Tapi karena usia kami terpaut satu tahun, maka saya telah menganggap dia sebagai kakak. Dia sangat perhatian terhadapku. Dialah yang telah berhasil meyakinkan saya untuk keluar dari dunia hitam, yang selama enam bulan saya jalani, yakni selama awal setelah saya masuk STM. Dia sangat perhatian terhadapku. Bahkan ia sangat mendukung saya ketika tahu bahwa saya akan masuk biara, meskipun sebenarnya ia bukanlah seorang katolik.

Tuakem adalah teman sekostku. Usia kami juga terpaut satu tahun. Selain sebagai teman satu kost, ternyata dia masih punya hubungan keluarga dengan saya. Hal ini tidak saja tampak dari persamaan marga kami, tetapi kalau diurut lebih jauh, maka hubungan itu akan tampak dengan jalas. Dia selalu membantu, jika saya mengalami masalah di kost maupun di sekolah. Perhatiannya kepadaku begitu besar, walupun kadang saya selalu membuatnya kecewa.

Maston adalah teman satu kelasku sewaktu SLTP, sama dengan Reslina. Usiannya lebih tua beberapa bulan dari Reslina. Dia adalah temanku bersyering, terutama dalam hal-hal yang agak rohani, karena hanya dialah satu-satunya teman akrab saya yang beragama Katolik. Walaupun tempat tinggal kami berjauhan, tapi kami selalu meluangkan waktu untuk bertemu untuk saling mengutarakan isi hati kami.

Marice adalah teman dekat yang paling singkat berhubungan denganku. Saya kenal dengannya ketika menjalankan praktek industri di kota Tebing Tinggi. Perkenalan kami pun sangat boleh dikatakan kebetulan. Selama praktek industri inilah, ia berperan banyak untuk saya. Dia selalu setia menemaniku dan mendengarkan keluh kesahku ketika lagi mempunyai banyak masalah. Contoh paling dekat adalah ketika saya mempunyai masalah dengan seseorang yang pernah menjadi seorang yang paling kucintai, yang kebetulan juga sekelas dengannya. Ketika itu, ia mencoba untuk memperbaiki hubungan kami yang sudah sangat renggang itu, sampai setidak-tidaknya menjadi temani biasa. Walaupun akhirnya tidak berhasil, tetapi dia selalu mencoba untuk meyakan saya untuk tidak menyerah melakukan pendekatan lagi dengan temannya itu. Dari mereka berempat, ada dua orang yang masih tergolong semarga dengan saya, yakni Tuakem dan Marice.


2.3.3. Teman-teman Muda-mudi di Kampung

Berbeda dengan teman-teman, yang saya ceritakan di atas. Di kampung, saya mempunyai teman yang kebanyakan adalah Batak Toba dan beragama Katolik. Karena, di kampung saya penduduknya mayoritas suku Toba dan beragama Katolik. Saya tidak terlalu akrab dengan mereka dalam beberapa hal, seperti karena hidup menggereja mereka yang tidak karu-karuan, terutama yang lelaki.

Akan tetapi, ada beberapa hal yang menbuat saya juga sangat salut melihat mereka, yakni dalam hal kebersamaan. Kebersamaan yang saya maksud di sini merupakan suatu sikap saling menghormati dan menghargai kepentingan bersama dalam bebagai hal, seperti dalam hal merawat sarana dan prasarana desa, saling membantu, bila ada perayaan besar agama dan yang paling saya ingat, ketika desa kami terancam banjir pada akhir tahun 2000 yang lalu, semua saling bergotong-royong untuk membendung air sungai yang mulai meluap. Dan juga dalam hal-hal lain, seperti membantu jika ada acara adat seperti pernikahan dan kematian, dalam acara bersama muda-mudi, gotong royong di kampung, dan jika ada pertandingan olah raga antar kampung. Dalam hal kebersamaan ini munkin sudah sangat jarang saya temui, dan inilah yang mungkin membuat hubungan saya dengan mereka begitu akrab.


2.3.4. Sahabat

Persahabatan adalah salah satu nilai yang pernah sangat saya pegang dalam hidup ini dan mungkin sampai sekarang. Bahkan saya mempunyai suatu motto yang saya kutip dari kitab Amsal, dalam hal persahabatan ini, yang isinya: “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu dan menjadi saudara dalam kesukaran.” (Amsal 17:17)

Sejak saya mengenal persahabatan ini, saya telah mempunyai berapa orang sahabat yang salah seorang dari antara mereka telah menjadi saudara angkatku, seperti yang telah saya ceritakan di atas. Hubungan saya dengan mereka sangatlah erat, layaknya saudara sendiri.8 Mereka semua ada lima orang, yakni Reslina br Gultom, Maston Tambun (dari desa Limau Sundai),Tuakem Situmorang (dari Tiga Dolok), Hotmian Marice br Sitohang (dari Tebing Tinggi), dan Nurhayani (Maya) br Butar-butar (teman sekampung). Tapi sekarang kami tidak pernah lagi berhubungan atau saling kontak, karena tak satu pun diantara kami yang tahu alamat masing-masing.

Walaupun berasal dari suku yang sama, namun mereka mempunyai latar belakang keluarga, agama, daerah, dan sifat yang berbeda. Akan tetapi, persahabatan kami terus berjalan. Segala masalah baik masalah pribadi masing-masing maupun masalah yang timbul dalam kelompok kami, selalu diselesaikan bersama-sama. Dan sebagai sahabat, segala rahasia masing-masing bukan lagi menjadi rahasia ataupun perbedaan bukan lagi menjadi perbedaan.


2.4. Kepribadianku


2.4.1. Sejarah Hidupku

Saya lahir pada hari Jumat, tanggal 9 Agustus 1985, di RSU Katolik Harapan, Jl. Lapangan Bola Atas, Pamatangsiantar. Saya adalah anak pertama dari lima bersaudara. Ketika saya lahir, ayah lagi ditugaskan di Propinsi Nangroe Aceh Darussallam, yang setahun kemudian atas permohonan yang di ajukan oleh ibu, dipindahkan kembali ke Propinsi Sumatera Utara.

Setelah saya berusia kurang-lebih lima tahun, ayah selalu memperlakukan saya dengan kasar. Ayah selalu menganggap saya tidak berguna, karena kecerobohan saya juga. Saya masih ingat ketika kelas satu SD, ayah pernah memukul saya sampai hampir pingsan. Waktu itu rasanya saya tidak kuat lagi untuk betahan. Saya hanya bisa pasrah atas perlakuan itu.

Kejadian itu berawal, ketika kedua orang tua saya baru pulang dari sawah. Ketika itu, pekerjaan di rumah masih belum selesai kukerjakan dan kedua adik kecilku masih belum kumandikan, padahal hari sudah sangat sore. Apalagi ketika itu, ayah sedang kesal dengan apa yang baru dialaminya di sawah sebelumnya. Dan tenyata emosi ayah tidak terkendalikan lagi, ketika melihat bahwa di rumah juga belum beres. Sayalah orang yang pertama sekali menerima pukulan tangan ayah. Saat itu, saya benar-benar sakit. Saya langsung menangis karena tidak dapat menahan sakit itu. Hingga akhirnya, ibu mencoba meredam emosi ayah dan mengendalikan situasi yang sudah mulai memanas.

Sejak saat itulah, kebenciaanku kepada ayah mulai timbul. Karena kebencian itu, kami pun jarang berkomunikasi satu dengan yang lain. Kami berdua seperti musuh dalam selimut. Hubungan antara ayah dengan anak tidak tampak lagi dalam relasi kami. Sifat ayah yang memang keras, selalu kuimbangi dengan sifat keras kepalaku, sehingga jika kami merjumpa dapat diibaratkan seperti pertemuan dua kutub magnet yang sama.Ketegangan itu, diperparah lagi ketika saya mencoba menghindar ke rumah nenek. Saya mencoba mencari-cari alasan agar diijinkan tidur di rumah nenek. Selama enam tahun saya hal itu terjadi dan mengakibatkan saya sangat jarang tinggal di rumah sendiri.

Setelah lulus dari SLTP, saya minta untuk sekolah di kota. Awalnya kedua orang tua saya tidak mengijinkan, karena waktu itu saya minta untuk masuk seminari. Setelah terjadi tawar-menawar, akhrinya mereka mengijinkan saya untuk sekolah di kota, dengan syarat harus di STM. Walaupun sebenarnya saya kecewa dengan keputusan itu, tapi saya tetap menerimanya dengan rasa terpaksa. Saya merasa tidak mampu untuk membantah. Akan tetapi, yang paling penting bagi saya adalah bisa menjauh dari ayah dan segala kemarahannya. Saya semakin senang karena mulai benar-benar jauh dari ayah.

Akan tetapi, walaupun kebencian saya terhadap ayah cukup besar, secara tidak saya sadari, saya ternyata mewarisi banyak hal dari ayah. Baik itu dalam hal pandangan mengenai hidup maupun bakat-bakat yang timbul secara alami dari dalam diri saya. Dan yang paling menonjol dari semua itu adalah kerja keras dan dunia musik. Kalau kerja keras sendiri saya dapatkan dari pengalaman hidup yang selalu diajarkan oleh ayah, karena sejak kecil ayah selalu mengajarkan bahwa dalam kehidupan itu selalu diwarnai dengan kerja keras. Kalau musik timbul sendiri dalam diri saya, padahal ayah tidak pernah memperkenalkan musik kepada saya walaupun beliau lumayan bisa dalam hal ini. Bahkan mungkin, beliau malah menjauhkan saya dari dunia musik, misalnya: ketika saya ingin belajar gitar ataupun notasi beliau selalu melarang, dengan alasan bahwa saya pasti tidak akan bisa, padahal buktinya lain sekarang. Keinginan saya yang selalu tidak mau kalah dengan beliau, yang kemudian selalu mamacu saya untuk terus mencari dan belajar sampai sekarang.

Setelah saya mulai jauh dengan orang tua, ternyata bukannya malah membuat semuannya lebih baik. Di tempat kost, saya sendiri jarang meluangkan waktu untuk belajar. Sebagian besar waktu yang ada, saya gunakan untuk hal-hal yang tidak penting. Saya benar-benar melupakan apa yang sebenarnya harus kulakukan, yakni belajar. Karena waktu belajar yang ada tidak dapat saya manfaatkan dengan baik. Saya lebih mementingkan hidup berfoya-foya bersama beberapa orang teman, dalam setiap tegukan meinuman keras dan hisapan rokok. Lama-kelamaan prestasi yang saya dapatkan pun merosot.

Setelah masuk seminari, saya baru menyadari bahwa betapa pun kejamnya ayah, ternyata itu semua demi kebaikan saya juga. Ketika saya memilih untuk menjalani panggilan menjadi seorang seminaris, saya pun mencoba untuk merefleksikan segala apa yang pernah saya alami dalam hidup ini. Dan pada akhirnya sedikit demi sedikit saya mencoba memperbaiki kembali hubunganku dan ayah yang telah lama retak. Dan ternyata ayah meresponnya dengan uluran tangannya menerima saya kembali. Saya merasa saat itu seperti anak yang hilang, yang sadar akan kekurangannya dan mencoba untuk kembali kepada ayahnya.9


2.4.2. Hidup Menggereja

Sewaktu masih kecil saya merasa terpaksa untuk pergi ke gereja. Saya sendiri waktu itu lebih senang kalau tidak ikut bina iman, agar saya dapat lebih bebas bermain. Tapi, karena saya tidak dapat membantah perintah ayah, sayapun terpaksa mengikutinya. Walupun dengan rasa terpaksa, lama-kelamaan saya dapat menikmatinya juga. Semakin lama saya merasa sangat dekat dengan Tuhan. Hingga pada suatu saat saya berdoa dalam hati, “Tuhan saya ingin memberikan sesuatu yang berharga dari diriku kepada-Mu”.

Oleh sebab itu, saya selalu mencoba meluangkan waktu untuk setiap kegiatan yang ada di gereja, misalnya ketika ada acara-acara penting di gereja, membersihkan gereja, hari-hari raya besar, bahkan menjadi petugas liturgi, seperti lector, pembawa doa umat dan lain sebagainya. Semua itu selalu saya jalani dengan hati gembira, tidak peduli saya itu sedang sakit secara fisik ataupun secara batiniah (mis, barusan dimarahi oleh ayah). Seakan-akan ketika saya berada di dalam gereja dan melaksanakan setiap kegiatan itu, semua kesakitan itu hilang. Yang paling membuat saya lebih menikmati hidup menggereja adalah ketika mengikuti lomba koor anak-anak untuk pertama kalinya, yang selenggarakan oleh gereja Methodist. Ketika itu lagu yang ditampilkan berjudul, “Di doa ibuku namaku disebut”. Saya sangat bangga ketika itu, karena kelompok kami mendapat juara pertama. Ketika itu, saya telah duduk di bangku kelas enam SD.

Sejak saat itu, saya pun mulai ikut aktif dalam berbagai kegiatan dalam gereja, seperti Paroki Cup (perlombaan antar mudika/ anak-anak bina iman separoki), Karmel Cup (antar mudika dari paroki yang dilayani oleh romo Karmel), DEWILDASLAP (antar mudika dari delapan paroki-paroki yang berasal dari Deliserdang, Labuhan Batu, Asahan, dan Simalungun) dan masih banyak kegiatan lain.

Kehidupan menggereja saya pernah juga diuji ketika awal saya masuk STM. Keinginanku untuk pergi ke gereja, hilang sama sekali. Saya lebih mementingkan hidup bersama teman-teman berandalanku dari pada harus pergi ke gereja untuk mengikuti Ekaristi. Saya juga merasa tidak diperhatikan oleh teman-teman yang seiman ketika itu. Saya merasa dikucilkan dari mereka, yang kemudian membuat saya sangat kecewa kepada mereka.

Tetapi, krisis itu hanya datang sebentar saja. Melalui dorongan seorang sahabat10, yang waktu itu saya anggap merupakan perpajangan tangan Tuhan, saya pun kembali ke gereja. Saya mulai meninggalkan semua kekacauan yang terjadi pada diri saya. Saya sangat gembira ketika sudah dapat mulai meninggalkan semua itu dan mencoba untuk lebih memperbaiki diri. Saya lebih gembira lagi ketika diminta untuk mendampingi bina iman anak-anak di stasiku. Saya mencoba untuk memberikan yang terbaik kepada gereja melalui pelayananku terhadap anak-anak itu.

Hingga suatu ketika Legio Maria, diperkenalkan untuk pertama kali di stasi saya. Teman-teman langsung mempercayakan suatu jabatan untuk saya, tapi saya menolaknya karena saya akan berangkat ke seminari. Ketika itu, saya menyadari bahwa tidak mungkin saya menjadi pengurus di legio, sementara saya tidak dapat mengikuti pertemuan rutinnya.


2.4.3. Pergaulanku

Dalam kehidupan ini, relasi merupakan salah satu hal yang dapat menunjukkan kepribadian seseorang itu. Karena dari pergaulan sehari-hari akan tampak bagaimana sebenarnya manusia sebagai makhluk sosial menampilkan diri seutuhnya. Demikian juga saya sebagai pribadi, saya sangat menyadari perlunya melihat kembali bagaimana sebenarnya cara bergaul yang pernah saya lakukan dengan sesama saya dan apa sebenarnya yang terjadi ketika menerapakannya dalam setiap kehidupan saya.

Sejak kecil, kedua orang tua saya selalu membatasi pergaulan saya. Saya diperlakukan seperti anak gedongan yang hanya tinggal di rumah saja. Mereka paling tidak senang kalau melihat saya bergaul terlalu akrab dengan seorang wanita, kecuali bergaul dengan saudara sendiri ataupun tetangga. Apalagi kalau sampai pacaran. Mereka pasti akan marah besar kepadaku.

Mereka juga selalu mengawasi langkahku. Misalnya: mereka tidak pernah akan percaya kalau saya pergi untuk belajar kelompok, sebelum menanyakannya kepada teman-teman yang dekat denganku. Mungkin sekali karena terbatasnya hubungan itu yang menyebabkan saya agak kaku bila mecoba untuk bergaul dengan orang yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Tetapi saya memang orang yang nakal. Kerap sekali, saya pergi dari rumah secara sembunyi-sembunyi.

Baru setelah saya duduk dibangku STM/ SMK, tepatnya awal kelas dua, saya mencoba melawan kebiasaan itu. Saya mulai bergaul lebih dekat dengan gadis-gadis, baik itu teman satu sekolah, ataupun dari sekolah lain. Saya lebih bebas lagi, karena waktu itu saya merasa sudah lepas dari pengawasan orang tua saya. Bahkan saya sudah mulai berani untuk pacaran.

Saya mulai terang-terangan melawan kebiasaan itu, ketika saya menjalani PSG (Pendidikan Sistem Ganda) di Tebing Tinggi. Ketika itu, saya mulai banyak menjalin relasi dengan berbagai macam orang dari berbagai macam kota. Saya menggunakan banyak cara untuk memperbanyak relasi, mulai dari menghubungi teman sekampung yang sekolah ataupun kerja di kota lain, sahabat pena, hingga melalui internet. Bagi saya ketika itu, yang paling penting adalah memulai untuk menjalin relasi secara sehat.


2.4.4. Krisis yang pernah kualami

Setiap manusia pasti pernah mempunyai masalah sendiri, yang mungkin akan mengakibatkan krisis dalam hidupnya. Dan setiap krisis yang pernah dialami tersebut akan dapat memperngaruhi sifat seseorang, baik secara positif maupun secara negatif.

Saya sendiri sangat sering menghadapi krisis dalam setiap perjalanan hidupku. Dimana dalam setiap krisis yang pernah saya alami tersebut, saya rasa telah banyak mempengaruhi perkembangan saya baik itu secara negatif maupun positif. Saya akan memcoba melihat dan menceritakan kembali krisis yang pernah saya alami, dan sejauh mana krisis itu telah mempengaruhi kehidupan saya.

Krisis yang berpengaruh negatif bagi kehidupan saya. Krisis ini saya alami ketika masih kecil. Ketika itu ayah selalu marah kepada saya, karena keteledoran saya dalam melaksanakan suatu perkejaan. Otomatis kejadian ini membuat hubungan kami hancur dan pandanganku denga pribadi ayah itu menjadi sangat buruk. Bahkan saya pernah mencapnya sebagai monster yang akan membunuh saya, yang mengakibatkan saya menjadi takut kepada beliau dan selalu mencoba untuk menghindarinya.

Namun, saya juga memperoleh hikmah dari kejadian di atas. Dari kejadian tersebut, saya mendapat pelajaran untuk selalu bertanggungjawab terhadap setiap tugas yang diberikan kepadaku. Hal ini berpengaruh sekali sampa sekarang. Setiap kali saya melakukan sedikit saja kesalahan dalam tugas saya, rasa bersalah akan terus menghantui diriku.


2.4.5. Selama Masa Pendidikanku


2.4.5.1. Prasekolah

Dalam masa pendidikanku, saya tidak pernah mengenyam pendidikan di tinggkat TK (Taman Kanak-kanak). Saya hanya dididik oleh orang tua di rumah, dengan cara mereka sendiri. Selama itu, mereka mengajarkan kepada saya beberapa hal yang harus saya ingat dan jalankan dalam kehidupan sehari-hari. Dan pada bagian ini, saya akan mencoba menjelaskan apa-apa saja yang merupakan ajaran dari kedua orangtua saya, selama saya belum sekolah.


  1. Menghormati dan Mentaati Orang Tua

Menghormati orang tua adalah ajaran yang paling pokok dan paling ditekankan oleh kedua orang tua saya. Mereka tidak ingin saya, secara khusus dan kami anak-anak mereka,pada umumnya, menjadi orang yang tidak pernah patuh dan hormat kepada orang tuanya, atau lebih tepat kita sebut durhaka. Ini juga berkaitan dengan istilah yang ada dalam adat-istiadat suku Toba dan yang juga ada dalam “Sepuluh Perintah Tuhan”, yang mengatakan, “….pasangap ma natorasmu…”, yang artinnya ‘hormatilah kedua orang tuamu”.


  1. Rajin Berdoa dan ke Gereja

Sebagai salah seorang pengurus gereja di stasi, ayah dan ibu tidak ingin anak-anak mereka menjadi orang yang malas dalam kegiatan-kegiatan keagamaan dan jauh dari jalan yang diajarkan oleh Tuhan. Oleh sebab itu, mereka selalu menekankan agar saya selalu pergi ke gereja dan aktif dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan di gereja. Mereka juga selalu menasehati agar setiap kali akan memulai dan menyelesaikan kegiatan, hendaknya menyerahkan kegiatan itu kepada Tuhan dalam doa. Itulah yang menyebabkan dan mendorong saya sejak kecil untuk mau melayani-Nya.

  1. Harus Menjadi Panutan untuk Adik-adik

Sebagai anak pertama, kedua orang tua saya selalu mengajarkan agar saya menjadi panutan bagi adik-adik saya. Mereka mengajarkan bahwa bagaimana pun kelakuan saya, pasti akan ditiru oleh semua adik-adik. Maka mereka mengharapkan agar kelakuan saya selalu baik, agar adik-adik saya pun dapat meniru hal yang baik yang ada pada diri saya.


  1. Rajin Belajar dan Bekerja

Belajar dan bekerja adalah dua hal yang sangat penting bagi kehidupan, itulah yang selalu dinasihatkan oleh ayah dan ibu kepada saya. Mereka berkata, dengan belajar, kita dapat mengetahui apa-apa saja yang dahulu tidak pernah kita ketahui sama sekali. Dan jika kita sudah mengetahuinya, maka mungkin akan sangat berguna untuk masa depan. Sedangkan dengan bekerja, setiap orang akan mampu membiayai hidupnya sehari- hari. Bahkan mungkin dapat juga meringankan beban orang lain yang memerlukan bantuan darinya kelak.


  1. Selalu Hemat

Hidup hemat bagi orang tua saya pada khususnya merupakan salah satu hal yang juga sangat penting untuk kehidupan. Mereka sangat menekankan ini karena sadar akan perlunya menyimpan sesuatu untuk masa depan. Hidup hemat ini sudah saya rasakan sejak kecil, terutama dalam hal mainan dan jajan. Mereka tidak mau membuang uang untuk membelikan saya mainan yang mereka rasakan menjadi sesuatu yang tak berguna. Oleh sebab itulah, waktu kecil mainanku sangat sedikit dan cukup sederhanan.


  1. Selalu Berpikir Logis

Ayah saya, yang merupakan lulusan S1 jurusa matematika, IKIP Medan (sekarang Universitas Negeri Medan/ UNIMED), selalu mengajarkan agar selalu berpikiran yang logis. Apalagi kalau memberi alasan, beliau tidak akan pernah mau mengakui atau mempercayai alasan yang tidak dapat diterima akal sehat. Beliau akan terus menyelidiki kebenaran dari setiap alasan yang diberikan kepadanya.


2.4.5.2. Sekolah Dasar (SD)

Saya mulai masuk sekolah pada usia lima tahun di SD Negeri 014709. Ketika itu, saya memang sangat ingin sekolah dan belajar seperti anak-anak yang lain. Tetapi awalnya, kedua orang tua saya menolak keinginan saya itu, karena usia saya belum memenuhi syarat untuk masuk sekolah dasar. Sedangkan untuk masuk TK, mereka tidak mempunyai biaya dan lagi tempatnya jauh di kota kecamatan. Tapi, saya terus saja bersikeras untuk masuk sekolah, hingga akhirnya mereka pun mengabulkannya juga.

Selama duduk di bangku sekolah dasar, prestasiku tidak pernah mengecewakan kedua orang tua saya. Saya tergolong siswa yang selalu meraih prestasi yang cukup memuaskan. Di kelas, saya selalu mendapat peringkat tiga besar. Saya lulus dari SD dengan nilai yang cukup memuaskan. Semua teman-teman saya sangat senangang kepada saya.

Lama-kelamaan memang saya menjadi orang yang suka memamerkan kepintaran saya. Saya menjadi angkuh dan hanya mau berteman dengan orang-orang yang menurut saya dapat membantu saya dalam mencapai prestasi yang lebih tinggi lagi. Saya baru sadar akan itu semua setelah saya duduk di kelas enam SD. Ketika itu, saya ditegur oleh beberapa orang teman sekelas, yang memang agak akrab dengan saya. Apalagi ketika itu, saya akan menerima Komuni untuk pertama kalinya. Saya sangat terkejut atas teguran itu, yang kemudian membawa penyesalan yang sangat mendalam dan mencoba merubah diri.


2.4.5.3. Sekolah Lajutan Tingkat Pertama (SLTP)

Kemudian saya melanjutkan sekolah saya di SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) Negeri 3 Air Putih (sekarang: SLTP N 2 Air Putih). Saya diterima di sekolah ini karena nilai ujian akhir saya memenuhi standard nilai yang telah ditentukan oleh sekolah tersebut.

Selama duduk di bangku SLTP, saya masih tetap tergolong siswa yang mempunyai prestasi yang cukup memuaskan. Pada caturwulan yang ke dua di kelas satu, saya bersama tiga orang lain dari kelas yang terdahulu, dipindahkan ke suatu kelas yang disebut kelas ungulan. Kelas ini di bentuk agar siswa-siswi yang berperestasi mampu bersaing dengan lebih ketat. Di kelas inilah, saya dan teman-teman yang berprestasi lainnya dikumpulkan untuk bersaing secara sehat. Dan ternyata saya mampu juga bersaing dengan mereka. Selama di SLTP saya selalu masuk dalam peringkat lima besar.

Tetapi walaupun tergolong siswa yang berprestasi, saya juga merupakan siswa yang dicap sebagai orang yang sangat nakal waktu itu. Saya sering berkelahi dengan teman-teman yang lain. Bahkan, saya bersama teman-teman sekelas menjadi provokator dalam aksi mogok belajar, yang tujuannya untuk menuntut agar kepala sekolah waktu itu di ganti. Ketika itu, kami merasakan bahwa banyak terjadi penyelewengan di sana-sini, selama masa jabatan beliau. Hingga akhirnya beliau pun dipindahkan.

Saya sangat dikenal di sekolah karena pelajaran matematika. Setiap tahun, saya selalu mendapat nilai tertinggi dalam pelajaran ini. Mungkin ini karena didikan ayah juga, yang merupakan guru dari pelajaran tersebut di tempat ia mengajar. Karena pelajaran itu pula saya pernah terpilih untuk mewakili sekolah dalam cepat-tepat kabaupaten Asahan bersama lima orang teman lainnya. Hingga akhrinya saya lulus dari sekolah ini dengan nilai yang lumayan juga.

Selama duduk di bangku SLTP ini, sifat angkuh dan sombong saya waktu SD kambuh lagi. Ketika itu, saya selalu merasa paling hebat dari kebanyakan teman saya. Tapi, saya baru berubah beberapa minggu menjelang ujian akhir. Saya mulai menyadari bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.


2.4.5.4. SMK (Sekolah Menengah kejuruan)

Kemudian saya melanjutkan sekolah ke SMK Negeri 2 (Kelompok Teknologi dan Industri) Pematangsiantar, atas anjuran dari orang tua saya. di sekolah ini, saya mengambil jurusan Elektronika Komunikasi, yang ketika duduk di bangku kelas tiga, dirubah namanya menjadi tehnik Audio-video. Saya sendiri sebenarnya ingin masuk ke seminari, sebagaimana pernah saya cita-citakan. Namun, tak sekalipun diizinkan oleh orang tua saya untuk masuk ke sana. Bahkan ketika saya minta agar masuk SMU saja, mereka tetap menginginkan agar saya masuk sekolah teknik. Tujuannya agar saya dapat langsung kerja setelah lulus dari sekolah tersebut, padahal belum tentu segampang itu. Tapi, dengan berat hati saya pun nurut keingingan mereka, karena saya tidak mau mengecewakan harapan mereka.

Selama saya di SMK/ STM, prestasi saya semakin menurun karena malas belajar. Saya lebih senang menghabiskan waktu saya dengan teman-teman berandalan saya. Bersama merekalah saya mulai memasuki dunia hitam, dengan segala coraknya. Saya menjadi seperti seorang yang tidak berpendidikan, karena lebih mementingkan rokok dan minuman keras dari pada pendidikan dan masa depan saya. Perkelahian juga menjadi bagian dari hidup saya. Dan yang mengkhawatirkan, saya tidak pernah memperdulikan nasehat dari bapak kost dan teman-teman saya.

Tetapi hal itu hanya berlangung selama tujuh bulan. Saya mulai sadar ketika banyak teman yang memperhatikan saya, terutama beberapa orang yang dekat dengan saya, seperti sahabat-sahabat saya, teman-teman sekost, teman-teman di pramuka, dan masih banyak yang lainnya. Mereka selalu memberi saya banyak masukan, yang membuat saya mulai menyadari dan mencoba memperbaiki segala kesalahan yang saya lakukan. Sedikit demi sedikit saya mencoba untuk kembali merubah sifat saya, walaupun saya merasa agak kesulitan juga.

Awalnya itu sangat menyakitkan buat saya, tapi karena semangat yang mereka berikan dan tidak lepas dari rahmat Tuhan, saya pun mulai dapat merubah diri, setidak-tidaknya lebih baik dari sebelumnya. Semua itu membawa hikmah tersendiri buat saya, yang membuat saya mampu berserah kepada-Nya dan berkata, “Aku ini hanya milikmu Tuhan”.

Ketika menjelang akhir pendidikan saya di SMK, saya merasa terpanggil untuk melayani Tuhan lagi seperti apa yang pernah saya lakukan. Bahkan pada saat itu, saya merasa bahwa Tuhan memanggil saya lebih dari apa yang saya inginkan dan bisa.


2.4.5.5. Seminari Menengah (Rhetorica)

Beberapa bulan sebelum menyelesaikan masa pendidikanku di SMK, saya pun mendaftarkan diri ke Seminari menengah, yang kemudian mengikuti test. Ketika mengikuti test tersebut, saya benar-benar tanpa persiapan, karena usul untuk mendaftar dan mengitkuti test tersebut datangnya sangat tiba-tiba. Walaupun demikian, dengan segala kemampuanku, saya tetap menjalani test tersebut, dan memang mendapat hasil yang memuaskan. Saya merasa itu semua bukanlah karena kemampuanku semata, tetapi karena penyelenggaraan Ilahi juga.

Setelah mendapatkan hasil yang cukup mengejutkan itu, saya pun memulai kegiatan di seminari menengah, di kelas Rhetorika. Kelas ini dikhususkan untuk para seminaris yang sudah lulus dari tingkat SLTA, yang kemudian masuk ke seminari menengah. Jadi, kelas ini semacam KPA ataupun Postulat. Pembinaan yang diterapkan dikelas ini, lebih mengarah kepada tugas pastoral. Kami mempunyai tugas wajib untuk mengikuti doa di lingkungan yang ditunjuk. Ada juga yang diutus untuk memimpin ibadat sabda di suatu stasi, atau mendampingi ‘minggu gembira’ dan Legio Maria.

Dalam semester akhir kami juga diberi kesempatan untuk praktek mengajar di salah satu SD Katolik yang berasa di sekitar seminari, ketika itu saya mengajar di kelas satu. Dan jika dilihat dari segi mata pelajaran yang diberikan di Rhetorica ini, merupakan hal yang menunjang pelayanan pastoral, sepeti, Bahasa (Inggris, Latin dan Indonesia), kemampuan berpidato, psikologi pertumbuhan, liturgi, seni musik, sejarah gereja dan akutansi (CU-Credit Union), karena semuanya itu sangat dibutuhkan dalam menjalankan suatu tugas pelayanan yang mungkin akan di bebenkan nanti.

Selama di Rhetorica inilah, hidup menggerejaku semakin lama-samakin ditantang. Semangat merasulku pun semakin didongkrak dan berkembang. Saya jadi tahu lebih banyak lagi hal tentang pelayanan, dari yang pernah saya dapatkan sebelumnya. Semakin lama semangat panggilanku pun semakin menggebu-gebu. Saya merasakan suatu tarikan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya, yang mungkin seseuatu yang datangnya dari sang Maha kuasa. Rasa rindu untuk melayani-Nya semakin tumbuh dalam diriku.

Sejak inilah, panggilanku mulai bertumbuh kembali. Dan selama masa mendidikan di Rhetorica, saya mencoba untuk memupuknya agar semakin bertumbuh dengan subur dalam diriku.




















BAB III

SEJARAH PANGGILANKU


Setiap orang mempunyai panggilan masing-masing, yang harus mereka jalani. Pangilan tersebut tentunya bebeda-beda, misalnya: hidup selibat, baik itu sebagai biarawan maupun awam yang mengucapkan janji selibat kepada uskup setempat; atau hidup berkeluarga, dengan beberapa orang anak yang harus dibiayai. Setiap panggilan tersebut mempunyai ciri tersendiri.

Dalam bab III ini, saya tidak ingin membahas macam-macam panggilan itu lebih jauh. Akan tetapi, saya akan mencoba memaparkan apa saja yang pernah saya alami dalam perjalanan panggilan saya sendiri.


3.1. Awal Perjalanan Panggilan

Seperti yang telah saya utarakan di atas, setiap orang memiliki panggilan masing-masing. Demikian halnya dengan saya sendiri. Sejak kecil, saya merasa terpanggil untuk mempersembahkan hidup saya lebih khusus kepada-Nya, melalui hidup membiara. Panggilan itu sudah terasa sejak saya duduk di kelas tiga SD. Saat itu, ada seorang frater Praja (sekarang sudah menjadi romo), yang saya kenal dengan nama panggilan Fr. Slamet, sedang mengadakan kegiatan kerasulan di stasi saya (Stasi St. Yoseb-Kampung Kelapa). Kebetulan, beliau tinggal di rumah kami selama menjalani kegiatannya tersebut. Saya sangat kagum akan kepribadian Fr. Slamet, yang selalu ceria, sangat senang menolong orang lain, peramah dan masih masih banyak lagi yang lainnya. Dari sosok seorang religius inilah yang kemudian mendorong saya ingin menjadi seperti beliau.

Selama tinggal di rumah kami, beliau banyak bercerita tentang seminari kepada saya, walaupun sebenarnya saya belum memahaminya. Karena ketika itu, masih terlalu dini bagi saya untuk mengetahui hal-hal seperti itu. Dari cerita frater tersebut, semakin tumbuhlah keingingan saya untuk menjalani panggilan sebagai seorang biarawan. Saya sangat bangga mengatakan keinginan saya untuk menjadi seorang imam, ketika saya ditanya mengenai cita-cita yang ingin saya capai.

Saya merasa bahwa panggilan itu semakin bertambah kuat, ketika saya menerima Sakramen Mahakudus (komuni pertama) untuk pertama kalinya. Saya merasakan rahmat berlimpah dicurahkan bagi saya, ketika untuk pertama kalinya saya bersatu dengan tubuh kudus sang Penebus yang hadir dalam hosti suci. Benih panggilan itu semakin bertumbuh seiring berjalannya waktu. Dia seakan berkata kepadaku: “Ikutlah Aku!”.11 Sejak saat itu, saya pun mencoba untuk mengikutiNya. Saya sadar bahwa akan banyak tantangan yang akan saya hadapi, karena telah mengambil jalan ini. Oleh sebab itu, saya juga telah siap dengan segala konsekuensi yang akan saya hadapi nanti. Dan memang segala kesulitan itu tidak lepas dari jalan panggilan yang tengah saya jalani hingga sekarang.


3.2. Tantangan yang Kudapat dalam Memulai Panggilanku

Dalam hidup ini, tidak ada yang dapat dicapai dengan gampang. Setiap manusia selalu menemui bermacam-macam tantangan dalam perjalanan hidupnya. Contoh kongkrit dapat kita lihat dalam kitab suci. Betapa banyaknya tantangan yang di jumpai oleh bangsa Israel dalam perjalanan mereka menuju tanah terjanji.12 Atau mungkin tantangan yang dihadapi oleh para nabi dalam perjanjian lama, pada rasul besama umat Kristen awali, atau bahkan oleh para kudus, yang menghadapi banyak tantangan dalam panggilan mereka untuk menyerakan diri seutuhnya kepada Tuhan dan demi kemuliaannya.

Demikian juga saya, dalam menjalani panggilan ini, saya juga menemui banyak tantangan di sana-sini. Tantangan itu datangnya bukan saja dari orang-orang di sekitar saya, tetapi juga dari dalam diri saya, yang harus saya hadapi dengan hati teguh dan penyerahan yang seutuhnya kepada sang Cinta. Semua tantangan ini buat saya sendiri bukanlah semata-mata sebagai penghalang saja tetapi juga sebagai sesuatu yang menguatkan bagi perjalanan panggilan saya menuju kepada-Nya.

Oleh sebab itu, pada bagian ini saya akan mengutarakan apa-apa saja tantangan yang saya dapat dan bagaimana datangnya tantangan itu.


3.2.1. Dari Orang Tua

Orang yang paling mengerti saya adalah orang tua saya. Saya sangat yakin, bahwa mereka tidak akan pernah menginginkan sesuatu yang buruk terjadi padaku dan masa depanku. Sayapun sadar bahwa sesuatu keputusan yang saya ambil, bila tidak dapat mereka terima, akan menimbulkan kontrofersi. Kontrofersi inilah yang akan membuat perbedaan pendapat di antara say dan kedua orang tua saya. Hal ini juga terjadi ketika saya memaparkan keinginan saya untuk memulai perjalanan saya untuk menyerahkan diri seutuhnya kepada-Nya.

Sebenarnya kedua orang tua saya, tidak setuju kalau saya menjadi imam, ataupun biarawan. Saya telah beberapa kali mengutarakan niat saya ini kepada mereka, namun mereka selalu menolak dengan berbagai alasan. Mereka sering mengatakan bahwa belum waktunya saya untuk memutuskan untuk itu, karena saya belum mengerti tentang hidup membiara. Bahkan, mereka pernah berkata bahwa saya belum dewasa. Mungkin mereka benar dalam hal ini. Ketika itu, saya memang belum mengerti sedikitpun tentang hedup membiara. Tetapi menurutku, mungkin ada suatu hal yang membuat mereka tidak mengijinkan saya untuk menjalani hidup membiara.

Menurut saya, yang membuat mereka tidak mengijinkan saya untuk menjalani hidup membiara adalah karena saya merupakan anak pertama. Karena dalam tradisi orang Batak Toba, anak pertama sering disebut dengan, ‘anak panggoaran’13, yang merupakan penerus keluarga. Oleh sebab itu, jika saya masuk biara, dengan sendirinya keturunan mereka dari saya akan terputus. Bagaimana pun mereka tidak pernah menginginkan itu, walaupun sebenarnya saya masih punya dua orang adik laki-laki.

Saya sendiri sebenarnya juga menyadari dengan hal itu dan memahami dengan apa yang mereka rindukan dari saya sebagai anak sulung dalam keluarga. Saya tidak dapat berbuat apa-apa, sehingga saya sempat mencoba melupakan semua keinginan saya itu demi apa yang diinginkan oleh kedua orang tua saya tadi. Walaupun demikian, saya sediri juga tidak bisa memungkiri bahwa saya sendiri merasa bahwa Tuhan memanggil saya untuk membaktikan diri kapada-Nya dalam hidup membiara.

Lama saya mencoba untuk mengikuti apa yang diinginkan orang tua saya, untuk melupakan segala keinginan saya untuk mempersembahkan diri dalam hidup membiara. Tetapi, saya tidak mampu untuk melupakannya. Saya hanya dapat selalu merenungkan semua keinginan saya itu dan mempersembahkannya dalam setiap doa saya. Dan memang lama-kelamaan saya berhasil juga melupakannya, tetapi dengan konsekuensi bahwa saya sendiri harus melupakan hidup menggereja saya (lih. masa di SMK, pada bab. II), yang selama ini telah saya bina. Sebab, jika saya masih giat dalam hidup menggereja, panggilan itu tetap terngiang di hati saya yang terdalam.

Pada akhir sebelum saya memilih ke Karmel, saya baru tahu bahwa ayah juga pernah mencoba untuk mendaftarkan diri ke seminari. Tetapi, ia gagal pada waktu itu. Saya berpersebsi bahwa kegagalan yang dialaminya itu membuatnya kecewa, dengan apa yang dipilihnya ketika itu. Mungkin saja, kegagalan dan kekecewaan yang dialaminya, membuatnya merasa berat jika melihat saya mengalami hal yang sama. Namun ketika itu, saya tetap bertahan dengan apa yang saya harapkan.

Hingga akhirnya, mereka sendirilah yang menawarkan kembali kepada saya untuk menjalani panggilan tersebut, ketika saya hampir menyelesaikan pendidikan saya di sekolah menegah kejuruan. Dan Romo Slamet yang menjadi penggerak untuk mengajakku kembali kejalan yang pernah kurintis. Beliau yang dulu menumbuhkan semangat untuk menanggapi panggilan Tuhan dalam diriku, beliau pula yang kembali menyiramnya dengan butiran-butiran harapan, yang menggelorakan jiwaku untuk terus mengabdikan diri kepada sang Cinta sejati. Saya merasa sangat bersyukur kepada Tuhan, karena senantiasa memberi kesempatan kepada saya untuk untuk menjalani panggilan hidup ini dan bagi Bunda Maria yang selalu membimbing saya dalam menempuh perjalanan kepada Allah melalui rosario suci, yang selama awal-awal pertobatan saya selalu mewarnai hidupku.


3.2.2. Orang Orang Lain yang Pernah Dekat Denganku

Selain dari orang tua, saya juga banyak mendapat tentangan dari orang-orang yang dekat denganku, baik itu sanak saudara, teman/ sahabat, maupun pacar. Kebanyakan dari mereka sangat menyesalkan keputusanku untuk menjalani panggilan ini. Bahkan ada juga yang sangat berat melepaskan saya, kalau harus masuk biara. Untuk lebih jelasnya, saya akan mencoba mengungkapkan, apa sebenarnya yang membuat mereka menyanyangkan keputusanku dan yang menjadikan apa yang mereka harapkan dariku tersebut menjadi suatu tantangan dalam perjalanan panggilanku, dengan lebih terperinci dalam bagian ini tantangan-tantang yang saya dapatkan dari mereka.


  1. Sanak Saudara

Walaupun banyak dari antara sanak saudara yang mendukung saya untuk masuk biara, namun ada juga yang sangat menyayangkan dengan bergabagai alasan. Misalnya salah seorang sepupuku pernah bertanya, kenapa saya mau masuk biara. Dari nada bicaranya, sepertinya ia tidak senang dengan keputusanku itu. Awalnya, ia tidak mau memberitahukan alasannya. Tapi pada akhirnya, saya berhasil juga mendapatkannya. Ternyata ia hanya tidak mau kalau tidak dapat bebas berhubungan (dalam arti selalu berkomunikasi, entah itu untuk syaring dan lain sebagainya, karena ia adalah salah seorang dari sepupu saya yang dekat kepada saya) dengan saya. Setelah saya berikan sedikit penjelasan tentang hidup membiara kepadanya, barulah ia mengerti apa yang sebenarnya saya inginkan melalui hidup membiara ini adalah semata-mata untuk kemuliaan Tuhan. Hingga akhirnya, ia memberi semangat kepadaku, untuk terus berjuang.

Ada juga yang memang menyayangkan karena posisiku dalam keluarga, seperti apa yang dirasakan oleh kedua orang tua saya di atas. Dari antara mereka kebanyakan adalah orang yang sudah cukup dewasa dan sangat mengetahui masalah-masalah adat-istiadat. Mereka sebenarnya sangat ingin agar orang tua saya memperoleh keturunan dari seorang anak sulung, seperti saya ini, demi kelanjutan keturunan keluarga.

Awalnya, saya amat merasa terhambat dalam menjalani panggilan ini, karena semua komentar yang baru saja saya utarakan di atas. Saya merasa ada yang membentengi saya untuk terus berjalan. Tetapi, saya mampu juga untuk bertahan. Bahkan, saya mendapat banyak pelajaran dari semuanya itu.


  1. Teman-teman/ Sahabat

Kalau teman dan para sahabatku sendiri pada dasarnya mendukung saya untuk menjalani panggilan ini. Tetapi, ada beberapa orang yang tidak terlalu setuju dengan keputusan itu. Kebanyakan dari mereka berasal dari latar belakang agama yang berbeda.

Sebagai contoh kongkrit, seorang sahabat saya pernah mengutarakan isi hatinya, tentang keberatannya tentang hidup membiara. “Mengapa seorang pastor kok tidak menikah?” Itulah pertanyaan yang terlontar dari mulutnya, yang kemudian ia mengutip dari kitab Kejadian, yang mengatakan bahwa Tuhan menghendaki setiap manusia menikah dan memperoleh keturunan.14

Jelas saja, saya yang waktu itu masih belum tahu banyak tentang hal hidup membiara dan tentang kitab suci, menjadi bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi, saya merasakan tiba-tiba ada suatu dorongan untuk menjawab pertanyaan itu. Lama juga saya bergulat dengan pertanyaan dan sesuatu yang mendorong saya untuk menjawab pertanyaan tersebut, sampai akhirnya saya hanya mampu menjawab, bahwa dalam hal hidup membiara, saya ingin meneladan cara hidup Kristus yang tidak menikah. Kemudian, saya menambahkan bahwa dengan hidup selibat, kita akan mampu melayani dengan sepenuh hati, tanpa harus memikirkan hal lain. Mendengar keterangan saya itu, ia mencoba untuk menerima keputusanku dan yang kemudian mendukungku dalam menjalankan keputusan yang telah saya ambil tersebut.

Ada juga dari antara mereka yang melihat dari latar belakang pendidikanku. Mereka mengatakan bahwa, ada sesuatu yang janggal bila seorang dari lulusan sekolah teknik ingin menjadi seorang pastor. Mereka mengutarakan bermacam alasan soal kejanggalan itu.

Misalnya: Mengenai tugas utama seorang imam, yang melayani dalam bidang rohani, padahal di sekolah teknik pengetahuan tentang hal itu tidaklah terlalu di perhatikan. Apalagi, jika dilihat dari karakter orang-orang yang belajar di sekolah teknik yang cenderung lebih dapat diidentikkan dengan orang yang tidak tahu aturan dan keras, akan sangat kontras jika harus dihubungkan dengan tugas imam yang harusnya lebih teratur hidupnya dan memerlukan kelemah lembutan dalam mewartakan sabda.

Memang untuk menjadi seorang pewarta diperlukan juga sifat yang keras. Namun, kekerasan di sini berbeda arti dengan kekerasan yang dimiliki siswa sekolah teknik. Kekerasan yang dimiliki seorang siswa sekolah teknik, arahnya lebih kepada tenaga tubuh manusia. Tetapi, yang harus dimiliki oleh seorang gembala, adalah dalam arti tegas dalam menegakkan peraturan-peraturang yang berlaku dalam gereja dan dalam hal kerohanian.

Kadang, saya berpikir dua kali untuk menentukan pilihan, ketika mendengarkan pendapat dari teman-teman saya tersebut. Pada akhirnya, pendapat itu menimbulkan perasaan pessimis dam benakku. Sehingga untuk memutuskan ‘ya’ atau ‘tidak’ dalam menjawab panggilan Tuhan pun saya tidak mampu, dengan lebih yakin. Ditambah lagi dengan kepribadian saya yang masih belum begitu kuat, dan masih membutuhkan pengolahan yang lebih mendalam lagi. Tetapi, lagi-lagi aku hanya dapat berserah kepada-Nya.


  1. Pacar

Orang yang paling takut kalau kehilangan saya, adalah pacar (lebih tepatnya mantan pacar) saya. Pada hal, saya sudah mencoba menjelaskan bahwa ini sudah merupakan keputusanan saya. Oleh sebab itu, saya juga menjadikan mereka menjadi salah satu yang menjedi tantangan buat saya dalam menjalani panggilan ini.

Salah seorang dari mereka pernah mengutarakan, bahwa ia sangat berat kalau harus berpisah dengan saya. Ia bahkan menangis dan minta agar saya mengurungkan niat saya itu. Pada saat inilah, keteguhan hati saya di coba lagi. Saya benar-benar merasa goyah dengan kejadian ini, walaupun sebenarnya tekad saya sudah bulat. Sampai akhirnya, dengan susah payah saya pun mampu menyakinkannya, bahwa saya sudah benar-benar yakin dengan panggilan ini. Saya bertekad akan menyerahkan seluruh hidupku hanya untuk pelayanan saja. Dengan berat hati, ia pun mau mengerti akan keinginanku.

Dari semua tantangan yang saya hadapi, tantangan inilah salah satu yang paling berat. Betapa beratnya bagi saya untuk melepaskan kebahagiaan dengan mendapatkan seorang pacar yang sangat mengasihi saya, setelah sebelumnya saya gagal beberapa kali untuk merebut hati orang yang sangat saya cintai. Rasanya sangat berat untuk meninggalkan setiap kenangan yang kami alami. Cinta yang baru saja saya bangun dengan susah payah harus hancur lagi. Namun, saya kemudian menyadari bahwa kebahagiaan dunia ini hanyalah sementara belaka. Kebahagiaan yang ditawarkan oleh Tuhan lebih berharga dari kebahagiaan apapun. Dalam kesadari ini, saya juga merasakan suatu pentobatan bahwa semua itu akan berakhir pada waktunya, dan yang saya rasakan itulah waktunya. Dan cinta yang benar dan sejati adalah cinta yang benar-benar berdasarkan pada yang sejati pula, yakni Kristus sendiri.


3.2.3. Diriku Sendiri

Ternyata bukan orang-orang yang dekat dengan saya saja yang menghalangiku untuk terus berjuang untuk menjalani panggilan ini. Faktor yang menjadi penghalang terbesar menurutku ada dalam diriku sendiri, yang sering ragu dengan setiap keputusan yang harus kuambil. Terkadang, saya tidak mampu konsisten dengan pilihanku sendiri, yang ujung-ujungnya dapat membuatku terombang-ambing dalam pemcarian. Yang saya maksudkan dengan terombang-ambing di sini, adalah hidup dalam ketidak pastian yang lalu selalu timbul dalam pikiran saya.

Di satu sisi, saya harus konsekuen dengan keputusan yang saya ambil. Tetapi di sisi lain, saya tidak berani untuk menentang kepustusan orang tua saya ataupun orang lain yang ada di sekitar saya (lihat beberapa contoh di atas). Jadi, saya hanya mampu untuk berjalan dalam keragu-raguan. Keragu-raguan yang mungkin jika diteruskan akan menghancurkan saya sendiri. Hingga pada akhirnya, saya tidak akan pernah sampai pada suatu keputusan.

Lalu, apa yang harus saya lakukan untuk menentukan sikap? Apakah saya harus terus hidup dalam ketidak pastian ini? Kedua pertanyaan itu selalu muncul dalam benak saya, ketika hendak menentukan pilihan. Saya sebebarnya tidak pernah menginginkan kehidupan yang tidak pasti. Namun, pikiran manusia tidak sama dengan pikiran Tuhan. Tuhan selalu menghendaki apa yang tidak di kehendaki oleh manusia. Karena kebenaran sejati adalah Tuhan sendiri, yang selalu membimbing manusia kejalan yang benar, walaupun kadan manusia tidak menyadarinya.

Sampai saya memutuskan untuk berpasrah kepada-Nya, di saat saya baru mendapatkan banyak tekanan dari berbagai pihak, baik itu orang tua dan sanak saudara dan teman-teman yang lain. Saya baru yakin akan besarnya “cinta kasih Allah”15 kepada saya. Saya merasa dikuatkan dalam kebimbangan saya dalam menghadapi berbagai tekanan yang silih berganti menyerang saya.

Keyakinan saya ini ternyata telah mampu memberikan suatu kepastian buat saya, atau setidak-tidaknya telah membuat saya yakin akan rencana sang Cinta kepada saya. Hingga pada suatu ketika, saya berani berkata: “ya Tuhan, aku mau mengikuti jalan-Mu!”, dengan suatu keyakinan bahwa apapun yang direncanakan-Nya buatku, itu semua karena kasih-Nya yang besar kepadaku.16


3.3. Menanggapi Panggilan

Setelah masa-masa sulit yang saya hadapi, barulah saya yakin bahwa saya sebenarnya telah dipanggil Tuhan untuk melaksanakan tugas pelayanan dari-Nya. Keyakinan saya ini dikuatkan dengan banyak tekanan, yang telah saya hadapi dengan hati lapang dan penuh kepasrahan, dan dalam setiap tekanan yang saya hadapi tersebut, saya merasa Tuhan selalu membimbing saya. Sampai sayapun mulai menanggapi panggilan-Nya dengan serius.

Walaupun dengan segala keyakinan di atas, saya pun harus menyadari juga bahwa tantangan demi tantangan, dalam memulai melayanan yang dituntut oleh-Nya, masih baru akan dimulai ketika saya mengawali perjalanan ini. Sebab, Yesus sendiri bekata: “Siapa yang mau mengikut Aku, harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.”17 Dari perkataanYesus ini, saya dituntut harus mau menghadapi segala konsekuensinya, yakni ‘salibku’ sendiri. Salib yang memang harus saya tanggung dan saya tidak dapat menghindar darinya apapun alasannya. Salib itu ialah segala godaan yang harus kualami yang datang dari orang lain yang ada di sekitarku, maupun segala gejolak yang berasal dari dalam diriku sendiri, yang mana akan lebih dalam lagi menghanyutkanku, bila saya dengan gampang terbawa arus gelombangnya.


3.3.1. Masuk Seminari (KPA/ Rhetorica)

Saya mengawali perjalanan panggilan saya dengan masuk seminari selama satu tahun saja, karena saya telah menyelesaikan pendidikan di tingkat SLTA. Awalnya saya mendaftarkan diri, setelah mendapat persetujuan dari orang tua. Saya mulai mengurus segala sesuatunya, seperti surat-surat pribadi, persetujuan dari berbagai pihak, sampai persiapan batin (atau mungkin hanya sebatas harapan dan doa).

Kemudian saya memulai test di Seminari Christus Sacerdos, Pematangsiantar, sekitar awal Maret 2003. Ketika test berlangsung, saya sebenarnya belum mempersiapkan diri secara lahir, hanya saja ketika itu saya telah membulatkan tekad untuk memulai perjalan ini. Saya selalu berserah sepenuhnya kepada Tuhan, hingga saat saya akhirnya saya menyelesaikan test tersebut. Saya merasakan suatu dorongan untuk terus maju dalam menjalani panggilan ini, dorongan ini dapat dikatakan sebagai penyemangat yang besar buat saya di samping bantuan doa. Sejak berakhirnya test tersebut, sepertinya keyakinan akan panggilan, untuk mengikutinya semakin bertambah besar. Bahkan, saya pernah pamitan dan suatu semangat dari teman, dengan suatu keyakinan bahwa Tuhan benar-benar memanggilku untuk melayani.

Sambil menantikan hasil test, saya sering mengisi waktu luang saya dengan doa rosario dan mulai membaca bacaan rohani. Perubahan yang sangat menyolok dapat saya rasakan waktu itu. Sampai akhirnya, saya mendapat kabar bahwa saya lolos test dan diterima menjadi bagian dari komunitas Seminari Menengah, sebagi seorang seminaris. Saya sangat gembira saat itu. Saya tak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan, atas anugerah yang diberikan-Nya kepada saya.

Saya menjalani pendidikan di Rhetorica ini selama satu tahun. Seperti yang telah saya jelaskan pada bagian 2.4.5.5, selain belajar banyak hal tentang ilmu pengetahuan umum dan agama, kami juga menjalankan kegiatan kerasulan, seperti mengikuti doa lingkungan, pelayanan di stasi, Legio Maria, sampai mendampingi anak-anak bina iman. Begitu padatnya kegiatan kami, sahingga saya harus mengatur waktu dengan sebaik-baiknya. Di masa inilah, saya memulai panggilan saya dari titik nol dan mencoba mendengar sapaan Tuhan dalam diriku. Saya harus akui bahwa untuk memulai dari nol itu sangat sulit dan butuh kerja keras.

Tetapi, ada suatu hal yang menarik hatiku selama menjalani masa di Rhetorica. Sesuatu itu juga telah menggerakkan jiwa sosialku, yakni untuk menolong sesamaku yang berkekurangan. Kegiatan itu ialah, ketika kami ditugaskan untuk mengantar dan menjempun para saudari yang mengalami cacat fisik. Ketika menjalankan tugas inilah, saya merasakan bahwa Tuhan sangat mengasihi mereka. Saya sangat kagum pada pribadi mereka, yang tidak menganggap kekurangan mereka itu sebagai suatu penderitaan yang sangat menyiksa buat mereka. Padahal jika saya membandingkan dengan diri saya yang cepat putus asa, rasanya mereka lebih beruntung dari saya. di luar itu semua, saya juga merasakan suatu dorongan entah dari mana asalnya, untuk tidak melihat dari kekurangan mereka. Dorongan itu membuat saya dapat menerima mereka apa adanya.

Adapulah hal yang lain lagi yang mungkin akan saya paparkan pada bagian ini. Masalah ini sangat berkaitan dengan kaulamuda gereja, yang semakin lama semakin jauh dari pangkuan gereja. Saya sebagai bagian dari mereka merasa sedih bila melihat keadaan para penerus gereja ini. saya sangat jalas melihat kekurangan ini ketika saya dan salah seorang teman saya, yang sekarang berada di novisiat Kapusin, sedang melaksanakan tugas kerasulan di suatu lingkungan di paroki Siantar I (Jl. Sibolga). Ketika mengikuti doa lingkungan tersebut, kami melihat kurangnya kesadaran para Mudika untuk mengikuti doa yang diadakan selama sekali dalam satu minggu itu. Padahal ketika pulang dari acara doa itu, kami melihat banyak mudika yang sedang ugal-ugalan di jalanan. Ketika itu perasaanku sangat tersentuh, karena kejadian itu berkali-kali terjadi.

Maka timbul suatu inisiatif dari kami berdua untuk mencoba mendekati mereka dan mengajak mereka untuk kembali aktif. Kami membuat masukan-masukan baik itu kepada pembina mudika serta ketua lingkungan dan para mudika, agar para mudika tetap bisa aktif dengan berbagai kegiatan. Walaupun ada respon positif, mamun kegiatan itu tidak bertahan lama. Karena ketika kami selesai dari Rhetorica, semuanya berhenti. Ketika mendengar kabar itu hatiku merasa sedih, namun saya selalu menyerahkan mereka kepada Tuhan dalam doa-doa saya.


3.2.2. Menetukan Pilihan

Pada masa akhir masa pendidikan di Rhetorica, saya dihadapkan dengan masalah baru yang membuat saya tidak kalah bingungnya dengan saat saya harus memilih antara kemauan saya dengan kemauan orang tua saya. Ketika itu, saya dihadapakan dengan banyak pilihan tarekat, yang akan menjadi tempatku bergumul dan mempertajam panggilan Tuhan terhadapku.

Ketika itu, saya dihadapkan dengan dua pililhan yang paling berat, antara menjadi seorang imam Deosesan dengan OFM Cap (Ordo Fratrum Minorum Capusin). Pilihan Menjadi imam Deosesan diutarakan oleh salah seorang Frater Praja yang sangat kompak dengan saya, namannya Fr. Cristo. Dia mengingatkan kepada saya bahwa Imam Praja di keuskupan saya masih kurang. Padahal yang mengurusi gereja lokal seharusnya adalah imam Praja.

Orang tua saya sendiri menginginkan saya untuk masuk Capusin. Mereka menginginkan saya meneladan seorang Imam Fransiskan, yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Mereka sangat terkesan dengan pribadi seorang imam Fransiskan, yang bernama P. Lambertus Westenberg OFM. Cap. Beliau adalah salah seorang misionaris dari Belanda, yang masih berdiam di Indonesia sampai dua tahun lalu.

Begitu banyak cobaan yang selalu saya terima selama mecoba menentukan sikap untuk memulai perjalanan panggilan. Hingga akhirnya, saya sampai kepada suatu keputusan untuk memulainya di Karmel. Tapi, mengapa harus di Karmel? Mungkin semua orang bertanya-tanya, atau bahkan mungkin ada yang menebak bahwa itu adalah pelarianku dari semua masalah. Malah ada mungkin yang mengatakan bahwa saya mencoba menghindar dari luka yang telah tertanam dalam diri saya, yakni menghindari ayah saya, dengan pergi jauh keluar pulau Sumatera.

Mungkin, desas-desus itu ada benarnya bila diteliti lagi lebih dalam. Namun, bagi saya sendiri, saat memilih Karmel merupakan suatu pergolakan yang sangat berat. Pergolakan itu berawal saat menjalani retret akhir tahun, yang selalu dilaksanakan sebelum penentuan pilihan. Ketika itu, usul-usul tadi mulai memenuhi pikiranku. Dalam batin, saya mencoba untuk kembali bergolak sejak saya memulai untuk melibatkan diri dalam karya pernyelamatan Kristus, yakni saat saya dipermandikan.18 Saat itu, memang saya belum mengetahui apa itu hidup atau apapun. Tapi, ada sesuatu yang sangat saya rasakan, yakni kasih sayang seorang ibu.

Kemudian saya terus menelusuri perjalanan hidupku, hingga saya sampai pada dunia kehancuran, lalu mengalami pertobatan.19 Saat itu, yang berperan aktif untuk menuntunku adalah semua sahabat yang sudah kuanggap sebagai saudara, yang lalu mengingatkanku kepada Santa Perawan Maria. Tapi saat itu, saya tidak pernah bepikir tentang Karmel, karena saya belum tahu banyak tentang Karmel.

Saya malah sempat berpikir untuk memilih Serikan Maria Momfortan (SMM), yang ketika itu sedang promosi tarekat ke seminari, tempatku memulai panggilan ini. Sementara dalam benakku pada waktu itu, saya menemukan bahwa akan memulai panggilan ini dalam suatu tarekat yang menghoemati bunda Maria secara lebih khusus dari yang lain, dan serikat SMM tersebut menurut saya, telah memenuhi apa yang saya harapkan. Apalagi pada waktu itu, tarekat tersebut memberi banyak tawaran yang menarik. Namun, setelah saya merefleksikan lebih dalam lagi, ternyata saya tidak mampu untuk berkata ’ya’ untuk masuk kedalam serikat tersebut, sepertinya bunda Maria lebih membimbing saya ke Karmel. Hingga akhirnya, saya pun memutuskan untuk membuat lamaran ke Karmel, dan ternyata ordo memberikan kesempatan bagi saya untuk memulai panggilan ini di dalam persaudaraan Karmel.

Kemudian, mulailah saya diingatkan akan segala rahmat yang telah diberikan oleh sang Cinta Sejati, yang selalu meneragi umatnya.20 Ia seakan akan menuntunku menuju kepadanya, melalui doa rosario yang selalu kudoakan dalam setiap kesempatan. Barulah saya sadari bahwa panggilanku akan kutempuh dengan tuntunan sang Cinta melalui teladan Santa Perawan. Dengan tekad yang sudah bulat, saya mengatakan kepada diri saya untuk memulainya di Ordo Karmel. Dalam ketidaktahuan dan kebutaanku tentang Karmel, saya pun menyakinkan diri untuk melangkah dan memulai pendakian menuju sang Cinta Sejati dalam persaudaraan Karmel.

BAB III

SEJARAH PANGGILANKU


Setiap orang mempunyai panggilan masing-masing, yang harus mereka jalani. Pangilan tersebut tentunya bebeda-beda, misalnya: hidup selibat, baik itu sebagai biarawan maupun awam yang mengucapkan janji selibat kepada uskup setempat; atau hidup berkeluarga, dengan beberapa orang anak yang harus dibiayai. Setiap panggilan tersebut mempunyai ciri tersendiri.

Dalam bab III ini, saya tidak ingin membahas macam-macam panggilan itu lebih jauh. Akan tetapi, saya akan mencoba memaparkan apa saja yang pernah saya alami dalam perjalanan panggilan saya sendiri.


3.1. Awal Perjalanan Panggilan

Seperti yang telah saya utarakan di atas, setiap orang memiliki panggilan masing-masing. Demikian halnya dengan saya sendiri. Sejak kecil, saya merasa terpanggil untuk mempersembahkan hidup saya lebih khusus kepada-Nya, melalui hidup membiara. Panggilan itu sudah terasa sejak saya duduk di kelas tiga SD. Saat itu, ada seorang frater Praja (sekarang sudah menjadi romo), yang saya kenal dengan nama panggilan Fr. Slamet, sedang mengadakan kegiatan kerasulan di stasi saya (Stasi St. Yoseb-Kampung Kelapa). Kebetulan, beliau tinggal di rumah kami selama menjalani kegiatannya tersebut. Saya sangat kagum akan kepribadian Fr. Slamet, yang selalu ceria, sangat senang menolong orang lain, peramah dan masih masih banyak lagi yang lainnya. Dari sosok seorang religius inilah yang kemudian mendorong saya ingin menjadi seperti beliau.

Selama tinggal di rumah kami, beliau banyak bercerita tentang seminari kepada saya, walaupun sebenarnya saya belum memahaminya. Karena ketika itu, masih terlalu dini bagi saya untuk mengetahui hal-hal seperti itu. Dari cerita frater tersebut, semakin tumbuhlah keingingan saya untuk menjalani panggilan sebagai seorang biarawan. Saya sangat bangga mengatakan keinginan saya untuk menjadi seorang imam, ketika saya ditanya mengenai cita-cita yang ingin saya capai.

Saya merasa bahwa panggilan itu semakin bertambah kuat, ketika saya menerima Sakramen Mahakudus (komuni pertama) untuk pertama kalinya. Saya merasakan rahmat berlimpah dicurahkan bagi saya, ketika untuk pertama kalinya saya bersatu dengan tubuh kudus sang Penebus yang hadir dalam hosti suci. Benih panggilan itu semakin bertumbuh seiring berjalannya waktu. Dia seakan berkata kepadaku: “Ikutlah Aku!”.11 Sejak saat itu, saya pun mencoba untuk mengikutiNya. Saya sadar bahwa akan banyak tantangan yang akan saya hadapi, karena telah mengambil jalan ini. Oleh sebab itu, saya juga telah siap dengan segala konsekuensi yang akan saya hadapi nanti. Dan memang segala kesulitan itu tidak lepas dari jalan panggilan yang tengah saya jalani hingga sekarang.


3.2. Tantangan yang Kudapat dalam Memulai Panggilanku

Dalam hidup ini, tidak ada yang dapat dicapai dengan gampang. Setiap manusia selalu menemui bermacam-macam tantangan dalam perjalanan hidupnya. Contoh kongkrit dapat kita lihat dalam kitab suci. Betapa banyaknya tantangan yang di jumpai oleh bangsa Israel dalam perjalanan mereka menuju tanah terjanji.12 Atau mungkin tantangan yang dihadapi oleh para nabi dalam perjanjian lama, pada rasul besama umat Kristen awali, atau bahkan oleh para kudus, yang menghadapi banyak tantangan dalam panggilan mereka untuk menyerakan diri seutuhnya kepada Tuhan dan demi kemuliaannya.

Demikian juga saya, dalam menjalani panggilan ini, saya juga menemui banyak tantangan di sana-sini. Tantangan itu datangnya bukan saja dari orang-orang di sekitar saya, tetapi juga dari dalam diri saya, yang harus saya hadapi dengan hati teguh dan penyerahan yang seutuhnya kepada sang Cinta. Semua tantangan ini buat saya sendiri bukanlah semata-mata sebagai penghalang saja tetapi juga sebagai sesuatu yang menguatkan bagi perjalanan panggilan saya menuju kepada-Nya.

Oleh sebab itu, pada bagian ini saya akan mengutarakan apa-apa saja tantangan yang saya dapat dan bagaimana datangnya tantangan itu.


3.2.1. Dari Orang Tua

Orang yang paling mengerti saya adalah orang tua saya. Saya sangat yakin, bahwa mereka tidak akan pernah menginginkan sesuatu yang buruk terjadi padaku dan masa depanku. Sayapun sadar bahwa sesuatu keputusan yang saya ambil, bila tidak dapat mereka terima, akan menimbulkan kontrofersi. Kontrofersi inilah yang akan membuat perbedaan pendapat di antara say dan kedua orang tua saya. Hal ini juga terjadi ketika saya memaparkan keinginan saya untuk memulai perjalanan saya untuk menyerahkan diri seutuhnya kepada-Nya.

Sebenarnya kedua orang tua saya, tidak setuju kalau saya menjadi imam, ataupun biarawan. Saya telah beberapa kali mengutarakan niat saya ini kepada mereka, namun mereka selalu menolak dengan berbagai alasan. Mereka sering mengatakan bahwa belum waktunya saya untuk memutuskan untuk itu, karena saya belum mengerti tentang hidup membiara. Bahkan, mereka pernah berkata bahwa saya belum dewasa. Mungkin mereka benar dalam hal ini. Ketika itu, saya memang belum mengerti sedikitpun tentang hedup membiara. Tetapi menurutku, mungkin ada suatu hal yang membuat mereka tidak mengijinkan saya untuk menjalani hidup membiara.

Menurut saya, yang membuat mereka tidak mengijinkan saya untuk menjalani hidup membiara adalah karena saya merupakan anak pertama. Karena dalam tradisi orang Batak Toba, anak pertama sering disebut dengan, ‘anak panggoaran’13, yang merupakan penerus keluarga. Oleh sebab itu, jika saya masuk biara, dengan sendirinya keturunan mereka dari saya akan terputus. Bagaimana pun mereka tidak pernah menginginkan itu, walaupun sebenarnya saya masih punya dua orang adik laki-laki.

Saya sendiri sebenarnya juga menyadari dengan hal itu dan memahami dengan apa yang mereka rindukan dari saya sebagai anak sulung dalam keluarga. Saya tidak dapat berbuat apa-apa, sehingga saya sempat mencoba melupakan semua keinginan saya itu demi apa yang diinginkan oleh kedua orang tua saya tadi. Walaupun demikian, saya sediri juga tidak bisa memungkiri bahwa saya sendiri merasa bahwa Tuhan memanggil saya untuk membaktikan diri kapada-Nya dalam hidup membiara.

Lama saya mencoba untuk mengikuti apa yang diinginkan orang tua saya, untuk melupakan segala keinginan saya untuk mempersembahkan diri dalam hidup membiara. Tetapi, saya tidak mampu untuk melupakannya. Saya hanya dapat selalu merenungkan semua keinginan saya itu dan mempersembahkannya dalam setiap doa saya. Dan memang lama-kelamaan saya berhasil juga melupakannya, tetapi dengan konsekuensi bahwa saya sendiri harus melupakan hidup menggereja saya (lih. masa di SMK, pada bab. II), yang selama ini telah saya bina. Sebab, jika saya masih giat dalam hidup menggereja, panggilan itu tetap terngiang di hati saya yang terdalam.

Pada akhir sebelum saya memilih ke Karmel, saya baru tahu bahwa ayah juga pernah mencoba untuk mendaftarkan diri ke seminari. Tetapi, ia gagal pada waktu itu. Saya berpersebsi bahwa kegagalan yang dialaminya itu membuatnya kecewa, dengan apa yang dipilihnya ketika itu. Mungkin saja, kegagalan dan kekecewaan yang dialaminya, membuatnya merasa berat jika melihat saya mengalami hal yang sama. Namun ketika itu, saya tetap bertahan dengan apa yang saya harapkan.

Hingga akhirnya, mereka sendirilah yang menawarkan kembali kepada saya untuk menjalani panggilan tersebut, ketika saya hampir menyelesaikan pendidikan saya di sekolah menegah kejuruan. Dan Romo Slamet yang menjadi penggerak untuk mengajakku kembali kejalan yang pernah kurintis. Beliau yang dulu menumbuhkan semangat untuk menanggapi panggilan Tuhan dalam diriku, beliau pula yang kembali menyiramnya dengan butiran-butiran harapan, yang menggelorakan jiwaku untuk terus mengabdikan diri kepada sang Cinta sejati. Saya merasa sangat bersyukur kepada Tuhan, karena senantiasa memberi kesempatan kepada saya untuk untuk menjalani panggilan hidup ini dan bagi Bunda Maria yang selalu membimbing saya dalam menempuh perjalanan kepada Allah melalui rosario suci, yang selama awal-awal pertobatan saya selalu mewarnai hidupku.


3.2.2. Orang Orang Lain yang Pernah Dekat Denganku

Selain dari orang tua, saya juga banyak mendapat tentangan dari orang-orang yang dekat denganku, baik itu sanak saudara, teman/ sahabat, maupun pacar. Kebanyakan dari mereka sangat menyesalkan keputusanku untuk menjalani panggilan ini. Bahkan ada juga yang sangat berat melepaskan saya, kalau harus masuk biara. Untuk lebih jelasnya, saya akan mencoba mengungkapkan, apa sebenarnya yang membuat mereka menyanyangkan keputusanku dan yang menjadikan apa yang mereka harapkan dariku tersebut menjadi suatu tantangan dalam perjalanan panggilanku, dengan lebih terperinci dalam bagian ini tantangan-tantang yang saya dapatkan dari mereka.


  1. Sanak Saudara

Walaupun banyak dari antara sanak saudara yang mendukung saya untuk masuk biara, namun ada juga yang sangat menyayangkan dengan bergabagai alasan. Misalnya salah seorang sepupuku pernah bertanya, kenapa saya mau masuk biara. Dari nada bicaranya, sepertinya ia tidak senang dengan keputusanku itu. Awalnya, ia tidak mau memberitahukan alasannya. Tapi pada akhirnya, saya berhasil juga mendapatkannya. Ternyata ia hanya tidak mau kalau tidak dapat bebas berhubungan (dalam arti selalu berkomunikasi, entah itu untuk syaring dan lain sebagainya, karena ia adalah salah seorang dari sepupu saya yang dekat kepada saya) dengan saya. Setelah saya berikan sedikit penjelasan tentang hidup membiara kepadanya, barulah ia mengerti apa yang sebenarnya saya inginkan melalui hidup membiara ini adalah semata-mata untuk kemuliaan Tuhan. Hingga akhirnya, ia memberi semangat kepadaku, untuk terus berjuang.

Ada juga yang memang menyayangkan karena posisiku dalam keluarga, seperti apa yang dirasakan oleh kedua orang tua saya di atas. Dari antara mereka kebanyakan adalah orang yang sudah cukup dewasa dan sangat mengetahui masalah-masalah adat-istiadat. Mereka sebenarnya sangat ingin agar orang tua saya memperoleh keturunan dari seorang anak sulung, seperti saya ini, demi kelanjutan keturunan keluarga.

Awalnya, saya amat merasa terhambat dalam menjalani panggilan ini, karena semua komentar yang baru saja saya utarakan di atas. Saya merasa ada yang membentengi saya untuk terus berjalan. Tetapi, saya mampu juga untuk bertahan. Bahkan, saya mendapat banyak pelajaran dari semuanya itu.


  1. Teman-teman/ Sahabat

Kalau teman dan para sahabatku sendiri pada dasarnya mendukung saya untuk menjalani panggilan ini. Tetapi, ada beberapa orang yang tidak terlalu setuju dengan keputusan itu. Kebanyakan dari mereka berasal dari latar belakang agama yang berbeda.

Sebagai contoh kongkrit, seorang sahabat saya pernah mengutarakan isi hatinya, tentang keberatannya tentang hidup membiara. “Mengapa seorang pastor kok tidak menikah?” Itulah pertanyaan yang terlontar dari mulutnya, yang kemudian ia mengutip dari kitab Kejadian, yang mengatakan bahwa Tuhan menghendaki setiap manusia menikah dan memperoleh keturunan.14

Jelas saja, saya yang waktu itu masih belum tahu banyak tentang hal hidup membiara dan tentang kitab suci, menjadi bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi, saya merasakan tiba-tiba ada suatu dorongan untuk menjawab pertanyaan itu. Lama juga saya bergulat dengan pertanyaan dan sesuatu yang mendorong saya untuk menjawab pertanyaan tersebut, sampai akhirnya saya hanya mampu menjawab, bahwa dalam hal hidup membiara, saya ingin meneladan cara hidup Kristus yang tidak menikah. Kemudian, saya menambahkan bahwa dengan hidup selibat, kita akan mampu melayani dengan sepenuh hati, tanpa harus memikirkan hal lain. Mendengar keterangan saya itu, ia mencoba untuk menerima keputusanku dan yang kemudian mendukungku dalam menjalankan keputusan yang telah saya ambil tersebut.

Ada juga dari antara mereka yang melihat dari latar belakang pendidikanku. Mereka mengatakan bahwa, ada sesuatu yang janggal bila seorang dari lulusan sekolah teknik ingin menjadi seorang pastor. Mereka mengutarakan bermacam alasan soal kejanggalan itu.

Misalnya: Mengenai tugas utama seorang imam, yang melayani dalam bidang rohani, padahal di sekolah teknik pengetahuan tentang hal itu tidaklah terlalu di perhatikan. Apalagi, jika dilihat dari karakter orang-orang yang belajar di sekolah teknik yang cenderung lebih dapat diidentikkan dengan orang yang tidak tahu aturan dan keras, akan sangat kontras jika harus dihubungkan dengan tugas imam yang harusnya lebih teratur hidupnya dan memerlukan kelemah lembutan dalam mewartakan sabda.

Memang untuk menjadi seorang pewarta diperlukan juga sifat yang keras. Namun, kekerasan di sini berbeda arti dengan kekerasan yang dimiliki siswa sekolah teknik. Kekerasan yang dimiliki seorang siswa sekolah teknik, arahnya lebih kepada tenaga tubuh manusia. Tetapi, yang harus dimiliki oleh seorang gembala, adalah dalam arti tegas dalam menegakkan peraturan-peraturang yang berlaku dalam gereja dan dalam hal kerohanian.

Kadang, saya berpikir dua kali untuk menentukan pilihan, ketika mendengarkan pendapat dari teman-teman saya tersebut. Pada akhirnya, pendapat itu menimbulkan perasaan pessimis dam benakku. Sehingga untuk memutuskan ‘ya’ atau ‘tidak’ dalam menjawab panggilan Tuhan pun saya tidak mampu, dengan lebih yakin. Ditambah lagi dengan kepribadian saya yang masih belum begitu kuat, dan masih membutuhkan pengolahan yang lebih mendalam lagi. Tetapi, lagi-lagi aku hanya dapat berserah kepada-Nya.


  1. Pacar

Orang yang paling takut kalau kehilangan saya, adalah pacar (lebih tepatnya mantan pacar) saya. Pada hal, saya sudah mencoba menjelaskan bahwa ini sudah merupakan keputusanan saya. Oleh sebab itu, saya juga menjadikan mereka menjadi salah satu yang menjedi tantangan buat saya dalam menjalani panggilan ini.

Salah seorang dari mereka pernah mengutarakan, bahwa ia sangat berat kalau harus berpisah dengan saya. Ia bahkan menangis dan minta agar saya mengurungkan niat saya itu. Pada saat inilah, keteguhan hati saya di coba lagi. Saya benar-benar merasa goyah dengan kejadian ini, walaupun sebenarnya tekad saya sudah bulat. Sampai akhirnya, dengan susah payah saya pun mampu menyakinkannya, bahwa saya sudah benar-benar yakin dengan panggilan ini. Saya bertekad akan menyerahkan seluruh hidupku hanya untuk pelayanan saja. Dengan berat hati, ia pun mau mengerti akan keinginanku.

Dari semua tantangan yang saya hadapi, tantangan inilah salah satu yang paling berat. Betapa beratnya bagi saya untuk melepaskan kebahagiaan dengan mendapatkan seorang pacar yang sangat mengasihi saya, setelah sebelumnya saya gagal beberapa kali untuk merebut hati orang yang sangat saya cintai. Rasanya sangat berat untuk meninggalkan setiap kenangan yang kami alami. Cinta yang baru saja saya bangun dengan susah payah harus hancur lagi. Namun, saya kemudian menyadari bahwa kebahagiaan dunia ini hanyalah sementara belaka. Kebahagiaan yang ditawarkan oleh Tuhan lebih berharga dari kebahagiaan apapun. Dalam kesadari ini, saya juga merasakan suatu pentobatan bahwa semua itu akan berakhir pada waktunya, dan yang saya rasakan itulah waktunya. Dan cinta yang benar dan sejati adalah cinta yang benar-benar berdasarkan pada yang sejati pula, yakni Kristus sendiri.


3.2.3. Diriku Sendiri

Ternyata bukan orang-orang yang dekat dengan saya saja yang menghalangiku untuk terus berjuang untuk menjalani panggilan ini. Faktor yang menjadi penghalang terbesar menurutku ada dalam diriku sendiri, yang sering ragu dengan setiap keputusan yang harus kuambil. Terkadang, saya tidak mampu konsisten dengan pilihanku sendiri, yang ujung-ujungnya dapat membuatku terombang-ambing dalam pemcarian. Yang saya maksudkan dengan terombang-ambing di sini, adalah hidup dalam ketidak pastian yang lalu selalu timbul dalam pikiran saya.

Di satu sisi, saya harus konsekuen dengan keputusan yang saya ambil. Tetapi di sisi lain, saya tidak berani untuk menentang kepustusan orang tua saya ataupun orang lain yang ada di sekitar saya (lihat beberapa contoh di atas). Jadi, saya hanya mampu untuk berjalan dalam keragu-raguan. Keragu-raguan yang mungkin jika diteruskan akan menghancurkan saya sendiri. Hingga pada akhirnya, saya tidak akan pernah sampai pada suatu keputusan.

Lalu, apa yang harus saya lakukan untuk menentukan sikap? Apakah saya harus terus hidup dalam ketidak pastian ini? Kedua pertanyaan itu selalu muncul dalam benak saya, ketika hendak menentukan pilihan. Saya sebebarnya tidak pernah menginginkan kehidupan yang tidak pasti. Namun, pikiran manusia tidak sama dengan pikiran Tuhan. Tuhan selalu menghendaki apa yang tidak di kehendaki oleh manusia. Karena kebenaran sejati adalah Tuhan sendiri, yang selalu membimbing manusia kejalan yang benar, walaupun kadan manusia tidak menyadarinya.

Sampai saya memutuskan untuk berpasrah kepada-Nya, di saat saya baru mendapatkan banyak tekanan dari berbagai pihak, baik itu orang tua dan sanak saudara dan teman-teman yang lain. Saya baru yakin akan besarnya “cinta kasih Allah”15 kepada saya. Saya merasa dikuatkan dalam kebimbangan saya dalam menghadapi berbagai tekanan yang silih berganti menyerang saya.

Keyakinan saya ini ternyata telah mampu memberikan suatu kepastian buat saya, atau setidak-tidaknya telah membuat saya yakin akan rencana sang Cinta kepada saya. Hingga pada suatu ketika, saya berani berkata: “ya Tuhan, aku mau mengikuti jalan-Mu!”, dengan suatu keyakinan bahwa apapun yang direncanakan-Nya buatku, itu semua karena kasih-Nya yang besar kepadaku.16


3.3. Menanggapi Panggilan

Setelah masa-masa sulit yang saya hadapi, barulah saya yakin bahwa saya sebenarnya telah dipanggil Tuhan untuk melaksanakan tugas pelayanan dari-Nya. Keyakinan saya ini dikuatkan dengan banyak tekanan, yang telah saya hadapi dengan hati lapang dan penuh kepasrahan, dan dalam setiap tekanan yang saya hadapi tersebut, saya merasa Tuhan selalu membimbing saya. Sampai sayapun mulai menanggapi panggilan-Nya dengan serius.

Walaupun dengan segala keyakinan di atas, saya pun harus menyadari juga bahwa tantangan demi tantangan, dalam memulai melayanan yang dituntut oleh-Nya, masih baru akan dimulai ketika saya mengawali perjalanan ini. Sebab, Yesus sendiri bekata: “Siapa yang mau mengikut Aku, harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.”17 Dari perkataanYesus ini, saya dituntut harus mau menghadapi segala konsekuensinya, yakni ‘salibku’ sendiri. Salib yang memang harus saya tanggung dan saya tidak dapat menghindar darinya apapun alasannya. Salib itu ialah segala godaan yang harus kualami yang datang dari orang lain yang ada di sekitarku, maupun segala gejolak yang berasal dari dalam diriku sendiri, yang mana akan lebih dalam lagi menghanyutkanku, bila saya dengan gampang terbawa arus gelombangnya.


3.3.1. Masuk Seminari (KPA/ Rhetorica)

Saya mengawali perjalanan panggilan saya dengan masuk seminari selama satu tahun saja, karena saya telah menyelesaikan pendidikan di tingkat SLTA. Awalnya saya mendaftarkan diri, setelah mendapat persetujuan dari orang tua. Saya mulai mengurus segala sesuatunya, seperti surat-surat pribadi, persetujuan dari berbagai pihak, sampai persiapan batin (atau mungkin hanya sebatas harapan dan doa).

Kemudian saya memulai test di Seminari Christus Sacerdos, Pematangsiantar, sekitar awal Maret 2003. Ketika test berlangsung, saya sebenarnya belum mempersiapkan diri secara lahir, hanya saja ketika itu saya telah membulatkan tekad untuk memulai perjalan ini. Saya selalu berserah sepenuhnya kepada Tuhan, hingga saat saya akhirnya saya menyelesaikan test tersebut. Saya merasakan suatu dorongan untuk terus maju dalam menjalani panggilan ini, dorongan ini dapat dikatakan sebagai penyemangat yang besar buat saya di samping bantuan doa. Sejak berakhirnya test tersebut, sepertinya keyakinan akan panggilan, untuk mengikutinya semakin bertambah besar. Bahkan, saya pernah pamitan dan suatu semangat dari teman, dengan suatu keyakinan bahwa Tuhan benar-benar memanggilku untuk melayani.

Sambil menantikan hasil test, saya sering mengisi waktu luang saya dengan doa rosario dan mulai membaca bacaan rohani. Perubahan yang sangat menyolok dapat saya rasakan waktu itu. Sampai akhirnya, saya mendapat kabar bahwa saya lolos test dan diterima menjadi bagian dari komunitas Seminari Menengah, sebagi seorang seminaris. Saya sangat gembira saat itu. Saya tak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan, atas anugerah yang diberikan-Nya kepada saya.

Saya menjalani pendidikan di Rhetorica ini selama satu tahun. Seperti yang telah saya jelaskan pada bagian 2.4.5.5, selain belajar banyak hal tentang ilmu pengetahuan umum dan agama, kami juga menjalankan kegiatan kerasulan, seperti mengikuti doa lingkungan, pelayanan di stasi, Legio Maria, sampai mendampingi anak-anak bina iman. Begitu padatnya kegiatan kami, sahingga saya harus mengatur waktu dengan sebaik-baiknya. Di masa inilah, saya memulai panggilan saya dari titik nol dan mencoba mendengar sapaan Tuhan dalam diriku. Saya harus akui bahwa untuk memulai dari nol itu sangat sulit dan butuh kerja keras.

Tetapi, ada suatu hal yang menarik hatiku selama menjalani masa di Rhetorica. Sesuatu itu juga telah menggerakkan jiwa sosialku, yakni untuk menolong sesamaku yang berkekurangan. Kegiatan itu ialah, ketika kami ditugaskan untuk mengantar dan menjempun para saudari yang mengalami cacat fisik. Ketika menjalankan tugas inilah, saya merasakan bahwa Tuhan sangat mengasihi mereka. Saya sangat kagum pada pribadi mereka, yang tidak menganggap kekurangan mereka itu sebagai suatu penderitaan yang sangat menyiksa buat mereka. Padahal jika saya membandingkan dengan diri saya yang cepat putus asa, rasanya mereka lebih beruntung dari saya. di luar itu semua, saya juga merasakan suatu dorongan entah dari mana asalnya, untuk tidak melihat dari kekurangan mereka. Dorongan itu membuat saya dapat menerima mereka apa adanya.

Adapulah hal yang lain lagi yang mungkin akan saya paparkan pada bagian ini. Masalah ini sangat berkaitan dengan kaulamuda gereja, yang semakin lama semakin jauh dari pangkuan gereja. Saya sebagai bagian dari mereka merasa sedih bila melihat keadaan para penerus gereja ini. saya sangat jalas melihat kekurangan ini ketika saya dan salah seorang teman saya, yang sekarang berada di novisiat Kapusin, sedang melaksanakan tugas kerasulan di suatu lingkungan di paroki Siantar I (Jl. Sibolga). Ketika mengikuti doa lingkungan tersebut, kami melihat kurangnya kesadaran para Mudika untuk mengikuti doa yang diadakan selama sekali dalam satu minggu itu. Padahal ketika pulang dari acara doa itu, kami melihat banyak mudika yang sedang ugal-ugalan di jalanan. Ketika itu perasaanku sangat tersentuh, karena kejadian itu berkali-kali terjadi.

Maka timbul suatu inisiatif dari kami berdua untuk mencoba mendekati mereka dan mengajak mereka untuk kembali aktif. Kami membuat masukan-masukan baik itu kepada pembina mudika serta ketua lingkungan dan para mudika, agar para mudika tetap bisa aktif dengan berbagai kegiatan. Walaupun ada respon positif, mamun kegiatan itu tidak bertahan lama. Karena ketika kami selesai dari Rhetorica, semuanya berhenti. Ketika mendengar kabar itu hatiku merasa sedih, namun saya selalu menyerahkan mereka kepada Tuhan dalam doa-doa saya.


3.2.2. Menetukan Pilihan

Pada masa akhir masa pendidikan di Rhetorica, saya dihadapkan dengan masalah baru yang membuat saya tidak kalah bingungnya dengan saat saya harus memilih antara kemauan saya dengan kemauan orang tua saya. Ketika itu, saya dihadapakan dengan banyak pilihan tarekat, yang akan menjadi tempatku bergumul dan mempertajam panggilan Tuhan terhadapku.

Ketika itu, saya dihadapkan dengan dua pililhan yang paling berat, antara menjadi seorang imam Deosesan dengan OFM Cap (Ordo Fratrum Minorum Capusin). Pilihan Menjadi imam Deosesan diutarakan oleh salah seorang Frater Praja yang sangat kompak dengan saya, namannya Fr. Cristo. Dia mengingatkan kepada saya bahwa Imam Praja di keuskupan saya masih kurang. Padahal yang mengurusi gereja lokal seharusnya adalah imam Praja.

Orang tua saya sendiri menginginkan saya untuk masuk Capusin. Mereka menginginkan saya meneladan seorang Imam Fransiskan, yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Mereka sangat terkesan dengan pribadi seorang imam Fransiskan, yang bernama P. Lambertus Westenberg OFM. Cap. Beliau adalah salah seorang misionaris dari Belanda, yang masih berdiam di Indonesia sampai dua tahun lalu.

Begitu banyak cobaan yang selalu saya terima selama mecoba menentukan sikap untuk memulai perjalanan panggilan. Hingga akhirnya, saya sampai kepada suatu keputusan untuk memulainya di Karmel. Tapi, mengapa harus di Karmel? Mungkin semua orang bertanya-tanya, atau bahkan mungkin ada yang menebak bahwa itu adalah pelarianku dari semua masalah. Malah ada mungkin yang mengatakan bahwa saya mencoba menghindar dari luka yang telah tertanam dalam diri saya, yakni menghindari ayah saya, dengan pergi jauh keluar pulau Sumatera.

Mungkin, desas-desus itu ada benarnya bila diteliti lagi lebih dalam. Namun, bagi saya sendiri, saat memilih Karmel merupakan suatu pergolakan yang sangat berat. Pergolakan itu berawal saat menjalani retret akhir tahun, yang selalu dilaksanakan sebelum penentuan pilihan. Ketika itu, usul-usul tadi mulai memenuhi pikiranku. Dalam batin, saya mencoba untuk kembali bergolak sejak saya memulai untuk melibatkan diri dalam karya pernyelamatan Kristus, yakni saat saya dipermandikan.18 Saat itu, memang saya belum mengetahui apa itu hidup atau apapun. Tapi, ada sesuatu yang sangat saya rasakan, yakni kasih sayang seorang ibu.

Kemudian saya terus menelusuri perjalanan hidupku, hingga saya sampai pada dunia kehancuran, lalu mengalami pertobatan.19 Saat itu, yang berperan aktif untuk menuntunku adalah semua sahabat yang sudah kuanggap sebagai saudara, yang lalu mengingatkanku kepada Santa Perawan Maria. Tapi saat itu, saya tidak pernah bepikir tentang Karmel, karena saya belum tahu banyak tentang Karmel.

Saya malah sempat berpikir untuk memilih Serikan Maria Momfortan (SMM), yang ketika itu sedang promosi tarekat ke seminari, tempatku memulai panggilan ini. Sementara dalam benakku pada waktu itu, saya menemukan bahwa akan memulai panggilan ini dalam suatu tarekat yang menghoemati bunda Maria secara lebih khusus dari yang lain, dan serikat SMM tersebut menurut saya, telah memenuhi apa yang saya harapkan. Apalagi pada waktu itu, tarekat tersebut memberi banyak tawaran yang menarik. Namun, setelah saya merefleksikan lebih dalam lagi, ternyata saya tidak mampu untuk berkata ’ya’ untuk masuk kedalam serikat tersebut, sepertinya bunda Maria lebih membimbing saya ke Karmel. Hingga akhirnya, saya pun memutuskan untuk membuat lamaran ke Karmel, dan ternyata ordo memberikan kesempatan bagi saya untuk memulai panggilan ini di dalam persaudaraan Karmel.

Kemudian, mulailah saya diingatkan akan segala rahmat yang telah diberikan oleh sang Cinta Sejati, yang selalu meneragi umatnya.20 Ia seakan akan menuntunku menuju kepadanya, melalui doa rosario yang selalu kudoakan dalam setiap kesempatan. Barulah saya sadari bahwa panggilanku akan kutempuh dengan tuntunan sang Cinta melalui teladan Santa Perawan. Dengan tekad yang sudah bulat, saya mengatakan kepada diri saya untuk memulainya di Ordo Karmel. Dalam ketidaktahuan dan kebutaanku tentang Karmel, saya pun menyakinkan diri untuk melangkah dan memulai pendakian menuju sang Cinta Sejati dalam persaudaraan Karmel.

BAB IV

MASA DI NOVISIAT KARMEL


Novisiat merupakan tahap awal sebelum memulai perjalanan panggilan dalam suatu tarekat hibup bakti. Pada masa novisiat ini lebih ditekankan tentang pengenalan diri dan tarekat. Dari perkenalan ini, diharapkan pada calon anggota tarekat akan mampu menentukan pilihan secara lebih bebas.

Oleh sebab itu, pada bab yang keempat ini, saya akan mencoba menceritakan apa-apa saja yang saya alami dan yang saya dapatkan selama menjalani masa novisiat. Karena bagi saya sendiri masa novisiat ini adalah tahap awal dalam perjalanan saya untuk mengikuti jejak Kristus, yang selama ini sangat saya idam-idamkan.


4.1. Novis I

Novis tahun pertama merupakan awal dari masa novisiat. Namun, dalam RIVC diumpamakan bahwa tahun pertama ini sama dengan masa postulan. Oleh sebab itu, metode formasio selama tahun pertama ini, lebih kepada pengenalan ordo dan pengenalan pribadi. Rasanya memang perlulah untuk memperkenalkan ordo terlebih dahulu kepada para calon pada masa novisiat ini, agar para calon tersebut pun mampu menentukan pilihan nantinya, dan diharapkan mampu menghayati karisma ordo di mana pun mereka berada. Selain itu perlu juga diterapkan pengenalan diri yang cukup, agar para calon pun lebih mampu mewartakan kabar suka cita Tuhan kita Yesus Kristus nantinya, tanpa menjadikan diri sendiri sebagai sesuatu obyek yang utama dengan segala kebutuhannya, melainkan Kristuslah sebagai pusat dari segalanya.

Tahun yang pertama ini juga sering disebut dengan tahun kanonik. Karena dalam tahun ini, kami diharapkan penuh satu tahun berada di dalam biara, dan benar-benar menghinhindarkan diri sedapat mungkin dari dunia luar. Oleh sebab itulah, model biara yang ditempati para novis adalah model biara ‘clausura’ atau tertutup.


4.1.1. Masa Awal di Novis I

Setelah perjalanan panjang yang saya alami selama di seminari, akhirnya saya berhasil mengatakan ‘ya’ untuk mengikuti jejak Kristus dalam persaudaraan Karmel. Namun, jauh sebelum saya memulai perjalanan di Karmel, saya sempat tidak yakin akan mampu melewati masa-masa sulit yang sedang saya alami ketika itu. Baru setelah saya mendapat izin dari ordo untuk memulai perjalanan panggilan saya di Karmel, sepertinya ada rasa bahagia dan semangat baru dalam diri saya untuk mengikuti sang Cinta. Tetapi juga ada rasa takut, jika saya nanti tidak dapat menjalankannya dengan baik dan sesuai dengan kehendak-Nya.

Awal-awal masa novisiat saya jalani dengan rasa gembira. Saya mencoba menyesuaikan diri dengan apa yang ada di novisiat, saya mencoba mengerjakannya dengan segala kekurangan dan kelemahan saya. Berkenalan dengan sesama novis baru maupun kakak-kakak kelas dan para formator, telah menjadi rutinitas buatku pada waktu itu. Dalam pikiranku ketika itu, amat pentinglah untuk saling kenal satu dengan yang lain, agar persaudaraan dapat tercapai dalam komunitas nantinya.

Selain itu, masa awal ini saya jalani juga dengan pengenalan hal-hal sederhana dan rutinitas di biara, melalui retret awal yang diberikan oleh romo magister. Dalam retret itu dijelaskan juga tentang jubah. Dalam retret tersebut dijelaskan bahwa orang yang berjubah memiliki peran yang luas dalam masyarakat, baik itu dalam masalah moral, sosial, psikologi maupun religius. Jubah juga suatu sarana yang menunjukkan identitas anggota dalam suatu serikat religius tertentu. Sedangkan dalam Karmel sendiri, jubah adalah cerminan diri dari orang yang mengenakannya. Hal ini dikaitkan dengan kisah nabi Elia, tokoh inspirator sekaligus bapa para Karmelit, yang memberikan rohnya kepada nabi Elisa dengan perantaraan jubahnya.21

Pada kesempatan retret berikutnya, yang kami jalani setelah penerimaan jubah selama satu minggu penuh, dijelakan juga tentang kamar, fungsi kamar secara umum maupun menurut regula dan konstitusi ordo, serta pentingnya untuk tinggal di kamar.22 Dalam retret tersebut dijelasakan bermacam fungsi kamar, yang secara umum sudah dikenal, seperti yang dijelaskan berikut ini.


    • Kamar sebagai ruangan:

Kamar adalah ruangan yang dengan senang hati menerima si penghuninya. Dia tidak akan marah bila si penghunainya datang dan langsung tidur. Jadi kamar akan dengan senang hati menerima mereka yang datang.

    • Kamar sebagai tempat pemulihan kekuatan:

Sepulang dari segala pekerjaan yang melelahkan dan penuh dengan kenangan, kita pasti akan langsung ke kamar masing-masing untuk memulihkan kekuatan kita kembali. Pada saat yang demikian, kamar akan sangat senang hati menerima kita seperti seorang ibu yang selalu menerima anak-anaknya dalam kelembutan kasih sayangnya, yang hanya diberikan kepada mereka. Dekapan ibu yang tanpa kata merupakan hiburan yang mendalam dan sebagai hiburan bagi kita. Demikianlah pula kamar terhadap kita.

Oleh sebab itu, dengan tinggal di dalam kamar berarti membiarkan diri dipengaruhi dalam arti dipulihkan oleh ruangan yang kita diami.

    • Kamar sebagi tempat pengenalan diri:

Setiap saudara harus menyediakan diri untuk tinggal di kamar masing-masing agar mendapat pengaruh, inilah yang akan membuat kita kerasan tinggal di kamar masing-masing. Tentu saja tidak semudah itu untuk menyediakan diri, syaratnya: aku harus tinggal di kamarku dengan kehendakku sendiri, agar kamar itu dapat menerimaku dan kamar itu sendiri harus kuberi kesempatan untuk itu, yakni:

Kamar diumpamakan sebagai pelukan; maka agar aku kerasan di kamar, maka aku harus membiarkan diri dipeluk oleh kamar itu. Saat aku tida enak tinggal di kamar, yakni saat berbagai pikiran, ide, khayalan yang tidak jelas arahnya bermunculan, dan yang membuat aku kecewa.

Para rahib kuno berkata: “tetaplah tinggal dikamar dan bertahanlah sebab dengan mengenali kekecewaan itu maka kamu akan mengenal dirimu.”

    • Kamar sebagai tempat pengisian diri:

Tersimpan beberapa buku, berbagai program yang telah aku susun sendiri di kamar. Maka aku akan kembali membacanya dan meresapkannya dalam diriku sampai mempengaruhi diriku, sehingga bila aku keluar dari kamarku, aku akan dapat memberi sesuatu yang bermanfaat baik bagi diriku maupun untuk orang lain. di kamarlah kita mempersiapkan itu semua dan membuat misi kita.


Pada akhir retret tersebut dijelaskan juga masalah waktu, yakni pengaturan waktu pribadi selama masa novisiat. Dari pengaturan waktu ini, kami diharapkan agar menepati waktu yang telah dibuat sendiri, demi perkembangan pribadi kami masing-masing. Diamping itu hal yang tak kalah pentingnya, yang dijelaskan dalam retret yang berlangsung selama lebih-kurang satu minggu itu adalah masalah opus manuale (kerja tangan) dan silentium (keheningan). Kedua hal yang terakhir ini, merupakan hal yang sangat pokok, yang harus dijalankan oleh setiap biarawan agar setiap biarawan mampun melihat dan merasakan kehadiran Allah dalam keseharnian mereka. Hal ini juga membantu para biarawan untuk dapat mengarahkan diri sepenuhnya kapada Dia yang mereka cari dalam iman dan harapan.


4.1.2. Pengalamanku Selama Novis I

Selama awal masa movisiat, yakni masa satu tahun Kanonik, saya mengalami banyak hal, baik itu yang menyenangkan maupun yang membuatku kesal. Apa yang saya alami itu, sebagian besar melalui pengalaman berelasi dengan orang lain, baik itu dengan para fomator, teman seangkatan, sekomunitas maupun dengan orang lain yang berada di luar komunitas.

Selain itu, saya juga pernah mengalami krisis selama masa novis tahun pertama. Krisis yang saya alami tersebut bahkan membuat saya sempat goyah dan ingin meninggalkan biara ini. Untuk lebih jelasanya, saya akan menjelaskan sedikit tentang apa yang saya alami selama novis tahun pertama.


4.1.2.1. Relasiku

Seperti yang saya ceritakan di atas, pada awalnya relasiku dengan teman-teman yang lain baik-baik saja. Kelihatannya kami akrab-akrab saja. Namun, seiring berjalannya waktu, barulah kami menyadari bahwa ada kepura-puraan dalam diri setiap pribadi. Hal ini mulai terasa ketika melakukan ‘corectio fraterna’ untuk pertama kali. Saya sendiripun baru menyadari akan hal itu, ketika semuanya dibeberkan dalam corectio tersebut. Sejak saat itu, kami dan terutama saya sendiri secara pribadi, mencoba untuk memperbaiki diri.

Dengan banyaknya masalah yang kualami dalam hal relasi ini, ternyata telah menguatkan dan mendewasakan saya dalam hal berelasi dengan siapa pun. Dalam setiap masalah yang saya hadapai, membawaku untuk berefleksi kembali. Dalam refleksi tersebut, saya sering mempertanyakan; apakan relasi saya ini telah benar-benar baik? Apakah saya sudah cukup dewasa dalam hal berelasi dengan teman-teman dan formator saya dalam komunitas saya?

Refleksi saya tersebut ternyata semakin lebih mendewasakan saya. Saya menemukan sesuatu yang sebenarnya secara tidak sadar telah mempengaruhiku. Dalam pencarianku, saya menemukan salah satu sifat buruk saya, yakni rasa takut dan segan bila berjumpa dengan atasan saya (orang yang lebih tua), yang mengakibatkan secara tidak sadar saya cenderung selalu mencari perhatian mereka.

Saya terus menggali kelemahan saya itu, lalu mencoba untuk mencari solusinya. Ternyata untuk mencari solusinya bukalah hal yang gampang buat saya. Tetapi, saya selalu yakin bahwa suatu saat pasti akan kutemukan solusi yang tepat.


4.1.2.2. Krisis yang Pernah Saya Alami

Krisis tidak pernah hilang dari perjalanan hidup siapapun. Sepertinya krisis itu telah menjadi suatu bagian dari hidup itu sendiri. Tapi, bukan berarti bahwa krisis itu tidak dapat dicari solusinya, karena setiap masalah pasti ada solusinya. Sebab di dunia ini tidak ada yang mustahil bagi Tuhan dan orang yang percaya kepada-Nya. Demikian juga saya sebagai pribadi, pasti juga merasakan banya konflik, yang bukan saja saya alami ketika saya masih di luar, melainkan juga setelah berada di biara. konflik-konflik tersebut kadang kala dapat membuat semangat panggilan saya pudar, tetapi juga dapat membuat suatu peneguhan bagi saya, itupun setelah saya merefleksikannya.

Selama menjalani masa novis tahun yang pertama, saya belum mengalami suatu konflk yang cukup serius. Koflik-konflik tersebut hanya berkisar pada kesalah mengertian antar pribadi saja. Karena pada tahun yang pertama ini, hubungan yang saya rasakan antara saya dengan teman-teman, baik satu angkatan maupun satu komunitas, masih dalam tahap pengenalan.

Salah satu konflik yang saya alami adalah ketika saya, yang dengan gaya Batak totok saya, bergaul dengan yang lain, yang praktisnya tidak sesuku dengan saya. Ketika itu, saya belum meyadari bahwa setiap suku pasti mempunyai ciri masing-masing dalam hal kepribadian. Ketika itu, terjadi kesalah fahaman yang cukup besar, yang mengakibatkan mulai renggangnya hubungan relasi antara yang satu dengan yang lain.

Hal kesalah fahaman ini baru terungkap dalam corectio fraterna, yang kami laksanakan untuk pertama kalinya, di Bumi Aji. Dalam corectio tersebut, kami saling mencoba memperbaiki dan saling dapat mengerti satu dengan yang lain. Tapi, saya memahami bahwa masalah ini tidak akan selesai begitu saja, karena perjalanan masih panjang.


      1. Apa-apa saja yang Kudapat selama Novis I

Pada bagian ini, saya akan menceritakan secara garis besar apa yang telah kuterima selama menjalani novis tahun pertama, baik itu tentang pelajaran, hal-hal rohani, mengenai kepribadian, dan banyak hal lain dapat merubah kehidupanku. Dan yang tak kalah pentingnya memperkuat panggilanku untuk melayani-Nya.


4.1.3.1. Mengenai Karmel

Ordo Karmel adalah salah satu ordo tua yang masih bertahan yang sampai saat ini. Menurut sejarah, Ordo Karmel tidak mempunyai pendiri khusus seperti pada ordo-ordo lainnya, seperti Fransiskan, Dominikan, Agustinian, Vincentian, Arnoldian, dan masih banyak serikat religius lain yang masih berkarnya bagi gereja hingga saat ini. Setiap serikat maupun ordo, mempunyai pendiri masing-masing. Lain dengan Ordo Karmel yang lahir di Gunung Karmel, di mana Nabi Elia pernah memperlihatkan betapa besarnya kuasa Tuhan, Allah Israel, kepada rakyat Israel yang telah berpaling dari padaNya dan menyembah pada Baal.23

Dalam sejarah ordo yang saya pelajari selama tahun pertama di Novisiat, dikatakan bahwa ‘sekelompok pertapa dari Eropa’ datang ke Gunung Karmel, karena mereka mempunyai bebarapa alasan, diantaranya adalah: tempat yang srategis dan mengingat bahwa tempat itu merupakan tempat nabi Elia melakukan karya-karya besar seperti yang telah saya utarakan pada kalimat di atas.

Para pertapa itu hidup dalam kesunyian dan menelada tokoh anakorit suci, nabi Elia, dimana mereka bagaikan lebah-lebah Allah mengumpulkan madu rohani yang manis di sel-sel mereka yang kecil.24 Mereka tinggal di sekitar suatu sumber yang disebut sumber Elia. Lama tinggal dan hidup bersama, mereka merindukan adanya suatu aturan hidup, yang menjadi pedoman bagi mereka dalam menjalani hidup bersama. Maka, mereka meminta Santo Albertus, Patriark Yerusalem untuk membuat suatu pedoman hidup untuk mereka. Pedoman itu sampai sekarang dikenal sebagai Regula Santo Albertus. Dengan pedoman tersebut para Karmelit awali memulai perjalanan hidup mengabdi untuk Tuhan. Salah satu dari isi regula yang sampai saat ini menjadi salah satu ciri khas para Karmelit, terutama Karmelit muda, yang masih menjalani masa pendidikan pada khususnya di Novisiat adalah, “... hendakanya masing-masing tinggal dibilikinya atau didekatnya, sambil merenungkan hukum Tuhan siang dan malam...” (Reg. Pasal 10). Dari isi regula tersebut telah tampak dengan jelas pentingnya peranan tinggal di bilik. Ini melengkapi penyataan Yakobus de Vitri, di atas yang menyatakan para Karmelit bagaikan lebah. Demikianlah para Karmeli harus tinggal di kamar, dan dalam permenungannya akan sabda Tuhan, menjadikan mereka sebagai penghasil-penghasil madu rohani yang nantinya akan dibagikan untuk semata-mata “...demi kemuliaan Allah”. Dari sini dapat dimengerti bahwa mereka benar-benar meneladan Nabi Elia, yang bekerja segiat-giatnya bagi kemuliaan Tuhan. 25

Semangat ini pulalah yang juga menumbuhkan semangat dalam diriku, untuk terus berjalan dalam panggilan ini. Setelah mempelajari tentang sejarah ordo, yakni tentang bagaimana para Karmelit awali, menghayati pangilan Tuhan melalui teladan nabi Elia, saya mencoba merefleksikan kembali apa yang pernah mendorongku untuk memilih Karmel dan apa yang dulu menjadi motifasiku untuk mengikuti jejak Kristus, benar-benar saya dapatkan di Karmel. Sejak awal, saya ingin sekali menjadi seorang yang ingin menhayati rahasia Paskah dalam keheningan hidup.

Di samping itu, saya juga memang menemukan hal lain, yang juga merupakan suatu harapan dalam diriku, yakni doa, persaudaraan dan pelayanan. Ketiga aspek ini selalu saya dapatkan dalam keseharianku. Awalnya, saya baru benar-benar menyadari hal ini ketika memperdalam ‘Spiritualitas ordo’. Ketiga aspek di atas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dalam hidup para Karmelit, sejak awal didirikan, pindah ke Eropa dan hingga saat ini. Ketiga aspek ini berpuncak pada kontemplasi, tentu saja bila ketiga aspek tersebut benar-benar dipahami, disadari, dan dilaksanakan dengan hati yang benar-benar terarah kepada Dia yang selalu mencinta.

Memang bukanlah hal yang gampang untuk dapat mengerti dan melaksanakan ketiga hal tersebut, bila belum benar-benar manyadari diri sendiri, apa kelebihan dan kelemahan yang ada dalam setiap pribadi. Demikianlah yang saya rasakan selama hidup di Karmel dan menjalani ketiga aspek tersebut di atas. Ada kalanya saya dapat menjalankan dan merasakan kehadiran Tuhan dalam ketiga aspek, namun ada kalanya saya mengalami kekeringan. Kekeringan ini buat saya, merupakan hal yang lebih sering saya rasakan daripada yang dapat membuat penghiburan dalam batinku. Dan lebih sering lagi, ketika pada saat awal saya menjalankan ketiganya. Pada saat itu, saya harus mengakui bahwa pengenalan diri saya masih bisa dikatakan belum memadai. Untuk mengatasi hal ini, saya selama novis tahun pertama menerima berbagai pengolahan hidup, yang akan saya ceritakan pada bagian selanjutnya dalam bab ini.

Selain apa yang telah saya sebutkan di atas, saya juga mendapat pengetahuan yang menjelakan apa yang menjadi visi dan misi dalam pendidikan para Karmelit muda. Dimana dijelaskan bahwa visi pendidikan Karmel itu adalah menjabarkan suatu cita-cita yang sangat luas dan biasanya berlangsung selama-lamanya, sedangkan misinya adalah penjabaran dari visi itu sendiri dan ketika menjalaninya dalam hidup sehari-hari.

Dalam perlajaran ini juga dijelaskan jenjang pendidikan dalam ordo karmel, yang dimulai dengan masa postulat selama satu tahun.26 Masa postulat ini bertujuan untuk mempersiapkan calon untuk memasuki masa novisiat yang merupakan awal dari perjalanan hidup religius Karmelit. (RIVC NO 71, alinea I). Masa Postulat ini diumpamakan telah terpenuhi selama tahun pertama yang telah kami lalui.

Novisiat tahun yang pertama ini, sering juga disebut tahun kanonik.27 Dalam tahun ini para calon diharapkan secara penuh tinggal di dalam biara selama satu tahun penuh, atau setidak-tidaknya membatasi hubungan dengan dunia luar. Dan selama tahun ini, para novis diharapkan juga mampu berkembang dalam hidup rohani mereka sekaligus menghayati kebersamaan dalam kelompok ataupun komunitas, yang sesuai dengan kharisma Karmel.

Sesudah masa ini, maka dilanjutkan lagi ke masa novisiat.28 Masa novisiat ini bertujuan untuk mengawali masuknya para calon secara bertahap ke dalam kehidupan yang disemangati oleh karisma Karmel, yang kemudian mengarah ke profesi sementara sebagai tanda keterlibatan peratama (RIVC NO 81 alinea I). Kemudian dilanjutkan dengan profesi sementara29 dan profes kekal.


4.1.3.2. Hidup Rohani

Para biarawan/ religius diharapkan menjadi orang-orang yang benar-benar matang dalam hal hidup rohani. Karenanya kehidupan rohani ini adalah sesuatu yang petama-tama harus diperdalam. Kesempatan terbesar untuk memperdalam kehidupan rohani ini ada pada masa novisiat.30 Selama di novisiat inilah, saya memperoleh banyak latihan rohani, mulai dari bacaan rohani, doa dan menditasi, dan banyak latihan-latihan rohani yang lain diberikan, yang harus diseuaikan dengan ritme batin kita masing-masing. Bahkan untuk memperdalam, diberi kesempatan untuk meminta bimbingan rohani kepada orang yang lebih maju dalam hidup rohani.

Saya sendiri telah banyak melaksanakan latihan-latihan rohani ini. Namun, saya harus akui bahwa saya belum begitu maju dalam hal-hal yang rohani ini. Ada beberapa metode yang saya coba, mulai dari bacaan rohani, doa Yesus, meditasi Ignatian, lectio divina (kelompok maupun secara pribadi), sampai meditasi hening.

Menurut yang saya rasakan selama melaksanakan semua latihan rohani tersebut, saya belum begitu merasakan suatu kemajuan yang begitu berarti. Saya selalu saja mengalami godaan dari sana sini, baik dari kondisi fisik saya yang mungkin masih belum terbiasa dengan suasana cuaca di kota Batu yang cukup ekstrim, hingga pikiran saya yang kadang-kadang susah untuk terpusat kepada Tuhan ketika melaksanakan meditasi. Namun pada saat-saat tertentu, saya bisa sangat menghayati latihan rohani saya. Pada saat-saat ini, saya sungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Tuhan. Saya sungguh-sungguh mampu merasakan kasih-Nya yang begitu besar kepada saya, entah kekuatan dari mana yang mendorong. Tetapi, itu tidaklah seberapa dibandingkan dengan kegagalan, kekeringan, rasa mandeg, dan banyak kekacauan yang selalu saya alami.


4.1.3.3. Pengenalan Diri

Pengenalan diri merupakan suatu hal yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadi dan kehidupan rohani setiap orang. Pengenalan diri ini menjadi aspek yang mempunyai posisi yang sangat strategis dari aspek-aspek yang lain. Bahkan dalam hidup membiarapun sangat dibutuhkan pengenalan diri yang cukup matang. Bagaimana jadinya jika seorang biarawan yang nantinya akan menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan, tidak mampu mengenal dirinya, tidak tahu apa kelebihan dan kelemahan yang ada dalam dirinya. Bisa-bisa biarawan yang seperti itu tidak akan mampu untuk menjalankan tugas pokoknya, sebagai seorang religius, yang katanya menyerahkan diri seutuhnya untuk Tuhan?

Secara pisikologis, orang yang demikian itu akan lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain yang ada di luar dirinya. Ia akan selalu dipengaruhi oleh afeksi-afeksi bawah sadarnya, yang tidak saja akan berpengaruh pada perkembagan pribadinya saja, tetapi juga relasinya dengan orang-orang di sekitarnya dan mungkin dalam hubungannya dengan Tuhan sendiri.

Tetapi, jika ia dapat mengenali dirinya dengan baik, saya yakin ia akan mampu, tidak saja berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, tetapi juga dengan Tuhan sendiri. Karena, seseorang yang dapat melihat apa yang ada dalam dirinya, ia akan lebih mampu untuk mecoba melihat apa yang dapat ia berikan, yang ada di dalam diri kepada orang lain dan kepada Tuhan. Singkatnya, seseorang itu akan lebih menyadari apa yang sedang dijalankannya dengan lebih baik.

Pengenalan diri ini telah saya dapatkan sejak sejak awal saya masuk di novisiat dalam berbagai macam cara penyampaian. Dan dari semuanya itu, terungkap banyak masalah yang masih ada pada diri saya. Kebanyakan masalah tersebut selalu mewarnai kehidupanku. Kebanyakan dari masalah yang saya hadapi itu berasal dari kehidupan masa lampau saya. Namun, ada juga yang berasal dari hal-hal yang lain, misalnya masalah dari sifat kesukuan, dari daerah, di mana saya tumbuh, dan banyak hal yang lain lagi, yang secara tidak saya sadari telah mengerakkan diriku.

Contohnya: ‘haus kasih sayang’

Mungkin saja kasus di atas telah mempengaruhi pertumbuhanku saat ini. Kekerasan yang selalu saya terima dari orang tua saya sejak kecil, bisa saja menjadi penyebab utamanya. Karena, siapa pun yang tidak pernah mendapat kasih saya dari kedua orang tuanya, akan terus mencarinya dalam kehidupannya selanjutnya, dan itu semua akan sangat tampak dalam dirinya, walaupun sebenarnya tidak ia menyadarinya. Nah, ketidak sadaran inilah, yang dapat menjadi masalah dalam kepribadian orang yang mengalami hal itu dan jika ini tidak cepat di selesaikan, akan menimbulkan akibat yang fatal bagi perjalanan hidupku, terutama dalam panggilan yang sedang saya hayati.


4.1.3. Pengolahan-pengolahan Lain

Di samping pelajaran formal mengenai psikologi, pada tahun yang pertama ini diberikan juga kesempatan untuk mengolah diri bersama kelompok dalam berbagai cara. Pada bagian ini, saya akan mencoba menceritakan apa-apa saja yang saya lakukan bersama kelompok untuk mengolah diri secara pribadi da secara kelompok.


4. 1. 3. 1. Dinamika Kelompok

Setiap kelompok sudah pasti memiliki dinamika perkebangan masing-masing. Dinamika ini dipengaruhi juga oleh masing-masing pribadi dalam kelompok tersebut. Oleh sebab itu, pribadilah yang paling pertama sekali harus diperbaiki sebelum kelompok. Ketika masing-masing pribadi sudah dapat menyadari apa yang menjadi potensi yang ada dalam diri masing-masing, akan lebih gampang untuk menyesuaikannya dengan dinamika perkembangan kelompok.

Oleh kerena itu, dalam dinamika kelompok ini yang peetama dibahas adalah perkembangan pribadi masing-masing. Segala yang pernah dialami, bersama keluarga dan orang-orang di sekitarnya, diharapkan dipaparkan secara lebih bebas dan jujur, agar hasil akhir dalam tahap pengenalan diri ini dapat tercapai sesuai harapan.

Saya mencoba untuk mngungkapkan apa yang pernah saya alami, segala suka-duka bersama keluraga. Bahkan, saya mencoba untuk jujur dan membeberkan penderitaan yang saya alami sejak kecil. Saya merasa bahwa inilah kesempatan terbaik untuk berdamai dengan masa lalu. Saya berharap dengan ini saya mampum berinteraksi dengan teman-teman seangkatan bahkan sekomunitas, dengan lebih baik. Saya tidak ingin segala kekurangan dan afeksi-afeksi itu menjadi penghambat dalam perjalanan panggilan dan pelayananku ini nantinya.


4. 1. 3. 2. Corectio Fraterna

Dalam corectio fraterna ini, kami mencoba untuk saling melihat kembali apa yang telah kami jalankan dan lalui bersama. Kami diminta untuk memperbaiki kesalahan sesama saudara dengan kasih.31 Dalam hal ini, kami juga diminta agar dengan jujur mengakui kesalahan pribadi, agar sesama saudara juga mampu memperbaikinya dengan cinta.

Kejujuran itulah yang saya coba lakukan selama corectio tersebut. Saya dengan jujur mengutarakan segala apa yang pernah saya rasakan, apa-apa saja kekurangan saya, dan tak lupa dengan rendah hati meminta bantuan dari teman-teman seangkatan untuk memberikan pendapat dan solusi yang tepat untuk penyelesaian masalah tersebut. Saya sungguh merasakan manfaat dari corectio ini. Saya merasa lebih berkembang dibandingkan sebelumnya. Disamping itu, saya merasakan kesih Tuhan itu sangat besar dalam diri sesama saudara.


4. 1. 3. 3. Refleksi Harian

Dalam refkleksi harian ini, saya mencoba untuk merefeksikan apa yang saya rasakan selama hari yang saya lalui. Saya mencoba melihat kehadiran Tuhan dalam setiap pekerjaan kecil yang kulakukan pada hari itu. Dalam menghayati pekerjaan sehari-hari, saya juga mencoba mengutip apa yang menjadi tema injil dalam perayaan Ekaristi pada hari tersebut dan membuat niat-niat yang akan saya coba lakukan dengan setia dalam melalui hari-hari saya dalam pencarian terhadap wajah tersuci sang Kristus. Karena dengan mencoba setia dalam pekerjaan, akan dapat melatihku juga untuk setia kepada terhadap hal-hal kecil, yang mungkin akan saya temukan juga dalam setiap langkah yang akan kutempuh.


4. 2. Novis II

Pada dasarnya, tahun yang kedua ini adalah kelanjutan dari pendidikan yang saya terima pada tahun yang pertama. Namun, pendidikan pada tahun yang kedua ini lebih mengarah kepada pembatinan nilai-nilai spiritulalitas Karmel yang telah saya dapatkan di tahun pertama. Ini harus benar-benar dikembangkan, baik itu dalam komunitas maupun di luar komunitas. Selain itu, dalam tahun yang kedua ini, para novis juga diarahkan untuk memasuki kehidupan Karmel yang mengarah kepada profesi, yang akan kami ucapkan pada akhir masa novisiat nanti.32 Kami diharapkan setelah mengakhiri masa Novisiat ini mampu mengahayati kaul-kaul yang akan kami ucapkan nanti, sebagai dasar dari kehidupan dan pelayanan kami.


4.2.1. Pengalaman Selama Novis II

Selama Tahun yang kedua ini banyak hal yang saya alami, tidak hanya suatu kegembiraan dalam menghayati panggilan, tetapi juga konflik-konflik, yang saya rasa semakin mendewasakan saya lagi. Memang bagi saya, tahun yang kedua ini adalah tahun yang penuh dengan rintangan dan cobaan, mulai dari yang timbul dalam diriku sendiri hingga yang memang timbul dalam kelompok. Banyak hal baru yang memang telah merubah kepribadianku walaupun tidak seratus persen, tetapi setidak-tidaknya telah membuatku mulai mengerti dan menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang didapat dengan mudah tanpa berusaha.


4.2.1.1. Relasiku

Awalnya saya mengira bahwa relasiku dengan teman-teman, terutama yang seangkatan baik-baik saja. Seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan relasiku. Saya merasakan semakin lama hubungan kami semakin renggang saja. Tetapi, memang harus saya akui bahwa saya belum berani untuk menyoroti ini kepada teman-teman pada waktu itu. Ketika itu, selain belum terlalu yakin dengan apa yang saya rasakan, saya juga merasa bahwa saya harus membenahi diri saya terlebih dahulu. Saya merasakan masih banyak kekurangan dalam diri saya. Rasanya pengolahan yang kami laksanakan pada tahun yang pertama masih belum membuahkan hasil yang meyakinkan bagi saya dan bagi perkembangan pribadi saya. Entah mengapa, rasanya sangat susah untuk memperbaiki diri.

Baru sekitar akhri semester ganjil, ada teman yang berani mengungkapkan masalah itu. Nah, pada saat inilah saya baru merasakan sesuatu tantangan yang benar-benar membuatku semakin bertumbuh. Mungkin ini kelihatannya terlalu melebih-lebihkan atau mungkin terlalu dibuat-buat. Namun, ini adalah suatu kenyataan. Saya benar-benar baru merasakan hidup dan tinggal dalam kelompok dan bersama kelompok.

Saya merasakan ada hubungan yang lebih dalam antara saya dan kelompok. Rasanya, saya lebih memahami kelompok dibanding sebelum-sebelumnya. Inilah yang saya sebutkan suatu konflik yang sangat mendewasakan saya dalam menjalani panggilan ini. Karena ketika kita berani berkonflik dalam kelompok, di situlah kelompok itu semakin diteguhkan.

Beda halnya jika tidak ada konflik dalam kelompok. Suatu kelompok yang tidak pernah berkonflik rasanya ada kemunafikan dalam kelompok itu. Saya berani mengatakan ada kemunafikan, karena amat mustahillah dalam hidup seseorang tidak pernah diwarnai masalah. Apalagi dalam hidup berkelompok, rasanya masalah adalah hal yang biasa dalam kelompok, yang terpenting adalah bagaimana kelompok itu menanggapi masalah yang tengah bertumbuh dalam kelompok. Nah, masalah itulah yang nantinya juga akan mengakibatkan konflik.

Bagi saya secara pribadi, masalah-masalah yang saya dapatkan ini selalin membuat saya bertumbuh, juga telah membuat saya lebih dapat merefleksikan panggilan dan kehidupan saya, yang selama ini rasanya hanya begitu-begitu saja. Saya mengatakan begitu-begitu saja, bukan karena tidak ada konflik, tetapi apa yang saya rasakan tidak dapat membuat perkembangan dalam diri saya dan hanya seperti tertanam saja jauh-jauh dari peredaran kehidupan ini. Lain halnya ketika merasakan konflik yang begitu besar, seperti yang kami rasakan pada saat korectio yang terakhir, rasanya saya semakin bisa menyadari kehidupan ini sekaligus mulai bangkit dari ketenggelaman saya.


4.2.1.2. Krisis yang Saya Alami

Berbeda dengan krisis yang saya alami selama masih tahun pertama, pada tahun yang kedua ini, seya menengalami konflik yang jauh lebih banyak dan beragam, mulai dari hubungan ataupun relasiku dengan teman-teman seangkatan maupun sekomunitas, hingga yang menyangkut penggilan.

Pada bagian ini, saya akan menjelaskan krisis yang saya alami mengenai penggilan. Krisis ini memang pernah saya alami pada novis tahun pertama dan bahkan juga jauh sebelum itu. Namun rasanya, apa yang saya alami itu tidak sekompleks setelah saya menjalani tahun yang kedua ini.

Krisis itu pernah menggoncangkan saya agar tidak melanjutkan panggilan ini. Bahkan saya pernah mengalami krisis kepercayaan kepada Dia yang salama ini saya imani dan saya ikuti. Saya merasakan bahwa Dia semakin lama semakin jauh saja dariku. Mengenai krisis ini saya pernah mengatakan dalam refleksi pribadi saya, “Tuhan dimanakan Engkau? Mengapa Engkau meninggalkan aku saat aku tidak mampu lagi untuk berkata ‘ya’, dalam mengikuti jalanMu ini?” Rasanya saya tidak mampu lagi untuk mengatakan bahwa ‘aku adalah milikMu’.

Pernah juga dalam refleksi saya, saya mengatakan bahwa Tuhan itu tidak adil, karena selalu memberikan pencobaan yang sangat berat untuk saya. Ketika itu, saya mencoba melihat kembali ke belakang dan melihat bahwa Tuhan memang begitu memberikan banyak pencobaan bagi saya. Rasa putus asa terus menaungi diriku, yang memang sudah sangat hancur. Bahkan ketika saya menuliskan karya tulis ini, rasanya ini adalah suatu pergolakan yang sangat berat dan mungkin jika saya tidak mampu untuk mengendalikan diri, maka saya akan semakin terperosok ke dalam kemunafikan dan keangkuhan.

Kemudian, saya mengambil keputusan untuk mencari pembimbing rohani, yang selama ini tidak pernah saya laksanakan. Saya mencoba mengutarakan apa yang pernah saya alami dengan krisis yang saya alami. Rm. Verbeek yang menjadi pembimbing rohani saya, benar-benar mencoba untuk meyakinkan saya, bahwa panggilan ini berasal dari Tuhan dan harus kupersembahkan kepadaNya pula. Ia mengatakan bahwa segala apa yang saya alami itu adalah suatu jalan yang harus saya tempuh dalam mengikuti jalanNya. Itu adalah salib saya, yang harus saya pikul bersama Kristus dalam jalan salib-Nya

Baru kemudian saya menyadari bahwa Yesus sendiripun pernah ditinggalkan oleh sahabat-sahabat dan Bapa-Nya, ketika Ia menderita sangat banyak demi tugas yang diembannya dan demi cintaNya kepada Bapa dan kepada umat-Nya. Lalu, saya berefleksi kembali dan berkata, “Mengapa saya begitu cepat menyerah? Sedangkan Yesus pun pernah mengalami pencobaan yang lebih berat dari apa yang saya alami ini.” Dan setelah itu, sayapun menyadari bahwa penderitaan itu haruslah saya lalui dengan memasrahkan semuanya ke dalam bimbingan Dia, yang juga mencintai saya. Pernyataan saya ini juga merupakan hasil refleksi saya ketika saya membaca buku santa Teresia dari Kanak-kanak Yesus, yang dalam tahun-tahun pertama saya di novisiat telah menggoda saya untuk belajar darinya dalam hal mencintai Tuhan dan sesama.


4.2.2. Apa-apa Saja yang Kudapat Selama Novis II

Seperti yang telah saya katakan di atas, pada tahun yang kedua kami diarahkan lebih menuju kepada profesi yang akan kami alami. Apa yang kami dapat pada tahun yang kedua ini sudah lebih mengarah kearah profesi yang akan kami ikrarkan nanti. Walaupun demikian, saya tidak dapat menutup-nutupi bahwa jika saya sendiri tidak masuk ke dalam kehidupan di tahap ini, saya tidak akan mampun juga untuk memasrahkan hidupku sepenuhnya kepada-Nya Pada bagian ini saya akan mencoba mengutarakan apa-apa saja yang telah saya dapatkan selama tahun yang kedua ini.


4.2.2.1. Mengenai Karmel

Dalam tahun yang kedua ini kami diajak untuk mengenal dan masuk dalam Karmel lebih jauh lagi lewat apa yang telah ditetapkan di Karmel, seperti Konstitusi dan tulisan para kudus Karmel. Selama berjalannya tahun yang kedua ini, saya sendiri merasakan kekeringan yang sangat membakar hati dan budi saya, setelah mengetahui lebih dalam tentang kehidupan Karmel. Ada rasa tidak pantas dalam diriku untuk menjadi saudara dalam Karmel. Mungkin ini disebabkan oleh masih banyaknya kekurangan-kekurang yang ada dalam diriku dan yang masih harus saya benahi lebih dalam lagi.

Dalam konstitusi dikatakan, hendaklah para calon memiliki kecakapan dalam berbagai hal.33 Mungkin saya tidak termasuk di dalamnya. Saya menyadari betapa banyaknya kekurangan yang ada dalam diriku yang masih harus diperbaiki dan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan itu rasanya tidak dapat dengan cepat untuk diselesaikan.

Apalagi ketika saya melihat lebih jauh kehidupan para Karmelit terdahulu. Kehidupan rohani mereka yang begitu mendalam, rasanya belum mampu untuk kuteladani, walaupun hanya sedikit. Seperti Santa Teresia dari Lisieux, yang dapat melihat dan merasakan kehadira Tuhan di dalam diri siapapun. Tak pernah ia membenci orang yang tidak menyukainya.34 Ia selalu berusaha untuk tetap bisa akur dengan orang tersebut. Meskipun ia selalu di ejek yang lain, namun ia selalu bersyukur karena dapat tetap bertahan dalam kehinaan dan kerendahan. Dia juga orang yang sangat patuh dengan peraturan biara dan perintah para pembesarnya.35 Tak sekalipun ia akan membelok ke kanan ataupun ke kiri. Ia tetap setia kepada sang Cinta yang selama ini ia layani lewat kebajikan-kebajikan kecil yang ia lakukan.

Jika dibandingkan dengan saya, rasanya sangat jauh berbeda. Rasanya untuk menjadi seperti dia amat mustahil. Namun, ada pelajaran berharga yang dapat saya petik dari kehidupan orang kudus ini. Penyerahannya terhadap karnya penyelamatan Illahi sangat besar dan ini yang selalu saya tekankan dalam diri saya, agar saya mampu menyerakan seluruhnya ke dalam tangan sang Cinta, baik itu segala apa yang ada padaku. Biarlah Dia yang menentukan arah perjalanan kehidupanku. Dan mulai sejak itu kepasrahanku kepadaNya semakin besar. karena saya selalu berpikir bahwa yang akan saya layani nantinya adalah Dia yang telah memanggil saya.


4.2.2.2. Hidup Rohani

Pada tahun yang kedua ini, saya semakin menyadari pentingnya pertumbuhan hidup rohani dalam diriku semakin dikembanggkan. Karena, bagaimanapun kehidupan rohani adalah salah satu bagian yang sangat penting dalam kehidupan religius. Namun pada tahun yang kedua ini juga, saya merasakan kehidupan rohaniku sepertinya semakin menurun. Padahal, saya selalu mencoba untuk terus mengembangkan apa yang pernah saya dapatkan dalam tahun yang pertama, atau bahkan apa yang pernah saya tahu sebelum saya di Novisiat.

Namun, hasilnya tetap sama, bahkan mungkin semakin buruk. Terusterang saya katakan, bahwa rosario yang selama ini menjadi devosi andalanku saja tidak pernah lagi saya jalankan, ditambah lagi rasa ngantuk yang semakin menjadi-jadi ketika doa ibadat harian bersama di kapel. Nah, kedua hal besar itu saja rasanya telah mengobrak-abrik kehidupan rohaniku yang selama ini ingin saya kembangkan lebih dalam.

Saya pernah beberapa kali mencoba untuk melihat kembali mengapa kehidupan rohani saya semakin lama semakin ambruk, namun saya tidak pernah berhasil walaupun dengan segala refleksi yang saya buat. Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk bicara kepada bapa rohani saya. Saya mencoba menceritakan hal yang sebenarnya tidak pernah saya utarakan kepadanya. Dia mencoba memberi sesuatu yang lebih dalam buatku dalam menjalani kehidupan rohaniku. Selain itu ia juga memberi semangat lebih buatku, agar saya terus bejuang dan agar jangan sampai tergoda dengan godaan setan yang sebenarnya selalu mengintai. Dia juga memberikan latihan rohani yang mungkin saya mampu jalankan saat itu. Dan memang sekarang saya sangat merasakan mafaat pentingnya meminta nasehat kepada pembimbing rohani ini. Cara ini juga ternyata telah membantu saya untuk dapat lebih berpasrah kepada kehendak sang Cinta yang telah memanggil saya.



4.2.2.3. Pengenalan Diri

Walaupun pelajaran psikologi sudah tidak diberikan lagi pada tahun yang kedua, namun saya merasakan proses pengenalan diri yang saya lakukan lebih mendalam dari ketika di novis tahun yang pertama. Proses pengenalan diri ini saya lakukan melalui pembuatan karnya tulis tentang perjalanan hidupku sendiri. Dalam penulisan karya tulis ini, seperti yang saya katakan pada bagian pembukaan, saya mencoba untuk terbuka dengan apa yang pernah terjadi dalam kehidupan saya. Saya berharap hasil yang saya dapatkan dari apa yang telah saya tulis ini, dapat membuat saya semakin mampu mengenal diri dan mampu dengan terbuka memperbaiki segala yang masih perlu dibenahi dalam diri saya. Memang apa yang saya harapkan tersebut sepertinya mulai tampak, walaupun tidak banyak. Setidak-tidaknya ini merupakan langkah awal bagi saya untuk memulai meperbaiki diri.

4.2.3. Live-in dan Pelayanan

Live-in adalah suatu proses dimana para novis diajak untuk tinggal dan hidup bersama kaum miskin dan papa. Selama proses ini diharapkan agar setiap novis mau tinggal bersama mereka yang miskin dan terbelakang dan mampu untuk hidup seperti mereka. Dan selama tinggal bersama mereka diharapakan setiap novis dapat menemukan kehadiran Allah dalam diri mereka. Kami melaksanakan proses ini pada tanggal 29 Sebtember sampai dengan 29 Oktober 2005, yang dibagi dalam dua tahap.

Pada tahap pertama (29 September – 11 Oktober 2005), saya bersama tiga orang teman yang lain ditempatkan di perkampungan Kalidahu, Blitar Selatan. Perkampungan ini sangatlah terpencil dan sulit dilalui oleh kendaraan. Apalagi kalau musim hujan, mobil yang dapat masuk hanyalah sejenis mobil ‘segala medan’, seperti Taft dan lain-lain. Ini dikarenakan oleh kondisi jalan penghubung ke daerah ini sangat memprihatinkan. Kondisi alam di tempat ini pun tidak kalah memprihatinkan. Seluruh daerah ini terdiri dari perbukitan yang berbatu-batu dan gersang. Jadi, bisa dibayangkan bahwa dalam kondisi seperti ini sangat sulit untuk mendapatkan air. Dan walaupun ada, jaraknya jauh dari daerah perkampungan dan harus turun ke lembah atau naik ke bukit.

Pekerjaan utama di daerah ini adalah bertani. Mereka bekerja keras, membanting tulang untuk mengelola tanah yang kodisinya cukup sulit. Ditambah lagi dengan sulitnya untuk mencari air, bahkan curah hujanpun sangat kecil di daerah ini. Padahal bertanikan, butuh air? Apalagi mereka hanya mengandalkan air hujan untuk mengairi ladang mereka. Tapi, itu tidak menjadi halangan bagi mereka untuk bekerja. Yang lebih mengagumkan lagi adalah prioritas mereka terhadap pendidikan anak-anak mereka. Keadaan seperti yang saya sebutkan di atas, bukanlah penghalang bagi mereka untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Hal ini terbukti dari tingkat pendidikan anak-anak, yang sebagian besar lulusan dari setingkat SLTA.

Saya sendiri ditempatkan di sebuah keluarga yang cukup terpandang di daerah itu. Keluarga ini tergolong keluarga muda, yang terdiri dari ayah (bpk Harjito), ibu (ibu Septi), dan seorang putri yang masih duduk di kelas empat SD (Novi). Bagi keluarga ini bertani adalah pekerjaan sambilan, karena bapak tersebut telah mempunyai pekerjaan tetap sebagai pengawai di salah satu bank swasta di Blitar. Walaupun demikian, kehidupan mereka tidak jauh berbeda dengan keluarga-keluarga lain. Mereka hidup apa adanya dan tidak merendahkan keluarga lain yang mungkin taraf ekonominya jauh di bawah keluarga mereka.

Saat-saat awal saya live-in di tempat ini, saya merasa hubunganku dengan keluarga itu agak kaku. Boleh dikatakan saya dan anggota keluarga kurang sering berkomunikasi, hal ini jugalah yang membuatku agak sulit untuk beradaptasi dengan keluarga tersebut. Tetapi untunglah, tetangga, yang juga merupakan masih kerabat dari keluarga tersebut, selalu mendorong dan menyemangatiku agar tetap berusaha untuk lebih akrab lagi. Hingga akhirnya aku pun dapat bergaul dengan mereka lebih dekat, bahkan sampai bapak dan ibu menganggapku sebagai bagian dari keluarga mereka. Dengan kata lain mereka telah menganggapku sebagai anak sendiri. walaupun pada tahap yang pertama ini dianggap gagal oleh pembimbing, namun bagi kami berempat pada umumnya dan saya sendiri pada khususnya tidak pernyah menganggap tahap ini adalah tahap yang sudah gagal. Karena, walaupun kami tidak terlalu merasakan suatu penderitaan, setidak-tidaknya kami tetap hidup seperti mereka dan tetap mendapatkan banyak makna yang dapat membuat kami semakin berkembang dan merasakan kehadiran Tuhan (Lihat lampiran, mengenai tulisan singgikat saya tentang live-in yang saya jalani).

Pada live-in tahap yang kedua (15 – 29 Oktober 2005), saya ditempatkan di sebuah asrama anak-anak yang cacat mental, di daerah Sengkaling-Batu. Di asrama tersebut terdapat enambelas anak yang cacat mental karena berbagai sebab, misalnya: karena kecelakaan, stres, bahkan ada yang memang bawaan dari lahir. Kondisi anak-anak tersebut sangat memprihatinkan, bahkan orang tua dan sanak keluarga mereka (bagi yang masih punya orang tua dan sanak saudara) tidak ada yang pernah datang mengunjungi mereka.

Di asrama tersebut, mereka dirawat oleh enam orang, yang terdiri dari: dua orang perawat (Yosef dan Robinson), dua orang bruder Alma (Br. Slamat. Alma dan Br. Arkiles. Alma), beserta dua orang anak SMPS yang sedang prektek di tempat itu (Yanwar dan Krisna). Mereka berenam juga dibantu oleh seorang ibu dapur dan seorang pengajar untuk anak-anak itu. Dari keenambelas anak tersebut ada juga tiga orang anak yang bisa membantu para perawat untuk bersih-bersih, mendampingi untuk makan, dan memasak, atau bisa dikatakan kondisinya sudah lebih baik dari yang lain.

Pertama kali kami (saya dengan Fr. Aris) tiba di asrama ini, kami langsung disambut dengan hangat oleh salah seorang perawat, yang bernama Robinson. Siang itu kami langsung dipersilahkan untuk makan siang bersama. Tanpa perlu basa-basi kami dapat cepat akrab dengan seluruh penghuni asrama tersebut. Keakraban yang terbina secara spontan ini membuat saya lebih nyaman saja untuk masuk dalam kehidupan mereka. Dan ini sangat berbeda dengan sewaktu saya ber‘live-in’ di Kalidawu beberapa hari sebelumnya.

Selama ber’live-in’ di asrama ini saya berperan sebagai salah seorang perawat dari anak-anak itu. Saya coba untuk menjalani jadwal yang telah ditentukan dengan sebaik-baiknya, dan sesuai dengan kemampuan saya. Pekerjaannya sebenarnya cukup sederhana, namun dalam melaksanakannya mungkin dibutuhkan suatu kesabaran dan pengendalian diri untuk tidak cepat emosi atau pun jenuh. Banyak kesulitan yang saya hadapi selama ber’live-in’ di asrama ini terutama ketika berhadapan dengan anak-anak tersebut. Beragamnya jenis cacat yang dialami anak-anak itu menjadi kesulitan utama yang saya hadapi. Tapi saya mencoba menjalaninya dengan sebaik mungkin, bahkan dalam refleksiku selama tinggal bersama anak-anak itu, aku seperti mendapat peneguhan dari perkataan Yesus dalam Injil, yang berbunyi, “….Barang siapa yang menyambut salah seorang dari saudara-Ku yang kecil ini dalam nama-Ku, berarti ia menyambut Aku..” (bdk. Luk. 9: 48).

Sebenarnya dalam proses live-in ini kami menempuh begitu banyak kesulitan mulai dari masalak penyesuaian diri dengan lingkungan hingga masalah pribadi yang kadang belum mampu untuk menerima mereka apa adanya. Namun, dalam segala kesukaran itu saya mengakui banya mendapatkan pelajaran yang berharga dalam setiapa kehidupan mereka. Dalam live-in ini saya juga sangat senang karena dapat melayani mereka seperti mereka dengan sepernuh hati, terutama terhadap anak-anak cacat di Sengkaling tadi. Untuk lebih lengkap saya akan menuliskan pengalaman live-in saya lakukan ini pada bagian lampiran nanti, karena kalau dituliskan pada bagian ini, saya takut akan membuat bagian ini menjadi lebih panjang dan membosankan untuk dibaca.

Pada bagian ini, saya hanya ingin mengutarakan bahwa betapa saya sangat bahagia dapat tinggal bersama dengan mereka. Selama saya tinggal bersama mereka, saya mendapat begitu banyak pelajaran berharga, baik itu dalam bidang sosial (tentang kebersamaan), bekerja keras, memahami arti hidup dan perjuangan dalam menjalani kehidupan dan yang paling penting buat saya adalah mampu merasakan kehardiran Tuhan juga dalam diri mereka. Dan ini telah meneguhkan saya untuk terus maju dalam panggilan ini.


4.3. Penentuan Langkah

Pada akhir tahun yang kedua ini, kami mencoba untuk menentukan langkah selanjutnya. Pada saat ini merupakan salah satu masa yang sangat penting, karena akan menjadi suatu penentu arah hidup saya selanjutnya. Saya ditempatkan pada dua pilihan, yakni antara memilih terus dalam jalan ini ataukah memilih jalan lain, yakni dengan hidup di luar. Selama masa-masa ini, saya sendiri mecoba benar-benar melihat kembali apa yang pernah saya lakukan, agar kemudian dapat menentukan langkah yang akan saya tempuh nanti.

Dalam perjalanan panggilan saya, yang panjang dan berliku-liku ini, saya telah menemukan sesuatu yang sangat berarti bagi saya. Buat saya, melayani Tuhan melalui sesama adalah suatu jalan yang saya cari selama ini. Akan tetapi, seperti yang saya katakan di atas, akan sangat sulitlah bagi saya untuk menentukan langakah ke arah mana saya akan melangkahkan kaki. Karena saya merasa pelayanan itu dapat terwujud dari dua jalan yang saya sebutkan di atas. Apalagi kedua jalan itu juga adalah perwujutan dari cinta Allah, bila saya memang benar-benar mau untuk menyerahkan diri seutuhnya.

Namun, seperti komitmen awal saya, saya ingin menyerahkan diri saya seutuhnya kepadaNya dan dalam karya penyelamatanNya. Dan hanya dalam hidup membiara inilah saya mampu mewujudkannya. Mengapa saya mengatakan demikian, karena menurut saya, tidak mungkinlah bagi seorang yang berkeluarga menyerahkan diri seutuhnya untuk Tuhan.

Bukan tanpa alasan saya mengutarakan pendapat tersebut. Kita sendiri dapat melihat bahwa betapa banyaknya orang-orang yang berkeluarga semakin jauh dari Gereja, karena disibukkan dengan urusan keluarga yang cukup rumit. Akan tetapi, apakah seorang yang berkaul untuk menjalanani hidup selibat dapat menyerahkan diri seutuhnya kepadatuhan? Itu juga patut untuk dipertanyakan. Karena jika dilihat dari realitas yang ada, manusia tetaplah manusia yang selalu dibayang-bayangi oleh kelemahan-kelemahan, yang justru semakin menjauhkan dia dengan Tuhan, jika ia tidak mampu menyadari dan mengolah masalah-masalah tersebut.

Seperti masalah yang saya alami di atas. Walaupun saya sudah hidup dalam lingkungan biara dan mencoba menjauhkan diri dari kehidupan-kehidupan duniawi, namun itu bukanlah suatu jaminan untuk dapat menghilangkan segala kekurangan-kekurangan yang ditimbulkan oleh kemanusiawian kita. Bahkan seandainya saya tidak dapat menyelesaikannya dengan berbicara kepada pembimbing rohani, mungkin akan membuat saya bukannya semakin beriman, tetapi malah semakin kecewa dengan apa yang saya imani dan ikuti selama ini.

Pada bagian ini, saya hanya mampu mengatakan hanya penyerahan kepada Dia yang telah memanggil saya. karena hanya Dialah yang dapat menentukan jalan mana yang akan saya jalani. Karena apa yang saya inginkan, mungkin tidak sama dengan apa yang diinginkan oleh-Nya. Bisa saja Dia menginginkan saya ke jalan panggilan yang lain, misalnya dengan menjadi seorang pekerja sosial dengan hidup berkeluarga, atau mungkin hidup di luar tembok biara dengan menjalani hidup selibat atau yang sering kita sebut dengan selibater awam. Namun, sekali lagi saya tekankan bahwa itu semua adalah kehendak Dia yang telah memanggilku dan nantinya menentukan arah panggilanku yang sebenarnya. Akan tetapi, seandai saya boleh memilih, saya akan memilih hidup selibat dan tinggal dalam keheningan biara. Karena saya merasakan betapa besar kasih Tuhan terhadap saya semenjak saya dilahirkan ke dunia ini hingga sekarang. Saya merasakan, betapapun besarnya gelombang badai kehidupan yang menerjang saya, Dia tepap melindungin saya di dalam bahtera kasih yang dibangunnya untuk saya.



BAB V

PENUTUP


5.1. Kesimpulan

Jika dirunut lagi, perjalanan kehidupan saya memang cukup panjang dan berliku-liku. Dalam setiap tenggang waktu tertentu, saya selalu saja dihinggapi masalah yang begitu berat, berbelit-belit dan sangat menyiksa saya. Masalah yang paling besar yang pernah saya hadapi adalah ketika saya berkonflik dengan ayah saya. Konflik tersebut telah mempengaruhi sebagian besar diri saya, baik dari watak, kepribadian, hingga cara saya dalam berelasi.

Masalah itu juga telah mempengaruhiku dalam perjalanan panggilanku untuk melayani Tuhan lebih radikal dengan menyerahkan diri seutuhnya bagi kemuliaanNya. Rasa takut dan pessimisme yang tinggi telah menghantuiku. Bahkan rasa curiga dan waswas selalu membayang-bayangi hidupku. Inilah yang mungkin bisa menghambat perjalanan panggilanku nanti. Saya sangat yakin bahwa pengaruh buruk itu adalah akibat dari kekerasan yang saya terima dari ayah saya.

Walaupun demikian, saya selalu mencoba untuk berdamai dengan segala pengalaman buruk itu. Dan harus saya akui bahwa itu semua tidak saya lalui dengan gampangnya. Semuanya itu berjalan seiring dengan perjalanan waktu, yang terus berputar mewarnai hidup.

Pencarian saya telah begitu berbelit dan susah untuk dipahami, setidak-tidaknya untuk saya secara pribadi. dan dalam semua itu, hanya Tuhanlah yang menjadi tumpuan hidupku. mungkin terlalu berlebihan bagi orang lain ketika saya berkata demikian. Tetapi tidak bagi saya. dalam kejadian-kejadian yang saya tuliskan pada bab-bab sebelumnya, saya dengan tegas mengatakan bahwa Tuhanlah yang telah menyelamatkan saya dari lembah kehancuran, walaupun dalam beberapa bagian saya mengatakan juga kekecewaan saya terhadapNya. Bahkan saya menceritakan bahwa saya merasa ditinggalkan sendiri dalam ketidak pastian.

Bimbingan Tuhan ini senantiasa saya rasakan baik dari perhatian orang-orang di sekitar saya, maupun kejadian yang saya alami sendiri lewat pertobatan saya (lihat BAB II), pejalanan panggilan saya (lihat BAB II), dan ketika saya mengalami krisis yang sangat mendalam ketika saya menjalani masa novisiat (lihat BAB IV).

Bagi saya, bukanlah suatu kebetulan bahawa saya, yang dulu pernah jauh dari pangkuan gereja dan tidak pernah mau menghayati hidup rohani, sekarang sedang menjalani panggilan sebagai seorang biarawan. Bukan pula suatu yang kebetulan, ketika saya merasakan suatu kekeringan malah semakin diteguhkan. Dan bukan pula suatu kebetulan, saya yang dahulu sangat benci terhadap ayah saya, sekarang menganggap dia sebagai salah seorang yang sangat berjasa dalam perkembangan kepribadianku, sehingga saya sendiri bisa menjadi seorang yang cukup tegar dalam menjalani kehidupan ini dan selalu berbalik kembali kepada Tuhan.

Seperti yang saya utarakan bahwa Tuhan selalu mempunyai rencana-rancana yang lain dari rencana manusia, sehingga manusia sendiri harus dapat menekan kehendaknya, agar kehendak Tuhanlah yang selalu terjadi dalam kehidupannya. Tentu saja, dalam kepasrahan itu kita juga harus yakin bahwa apa yang diberikan Tuhan kepada kita adalah yang terbaik untuk kita. Karena, Tuhan tidak akan pernah memberikan yang buruk bagi segenap ciptaanNya.

Kasih yang begitu besar yang berasal dari Tuhan itulah, yang mendasari penyerahan saya kepada kehendakNya, baik itu dalam perjalanan hidup saya maupun panggilan saya. Oleh sebab itulah, saya memberi judul utama dalam karya tulis saya ini ‘Suatu Perjalanan dalam Cinta’. Dan semoga cinta pulalah yang membimbing setiap orang. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Putera-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh. 3: 16)

5.2. Peneguhan

Setelah melihat kembali perjalanan kehidupanku dan menyimpulkannya, saya menjadi yakin akan kasih Allah yang begitu besar kepada saya. Saya semakin yakin bahwa panggilan saya adalah semata-mata untuk melayani-Nya dengan lebih radikal, dalam keheningan dan doa. Apa yang saya katakan ini, akan menjadi komitmen yang akan selalu saya pegang selama saya hidup. Saya akan selalu memberi cinta kepada Dia dan sesama, seperti Dia telah memberikan kasih kepadaku. Karena hanya Dialah yang telah membimbingku dan hanya kepada-Nyalah saya berharap dan menyerahkan diri sepenuhnya. Amin


1 Bdk. RIVC no 78, hal. 70.

2 Ingatan tentang apa yang pernah saya pelajari tentang’ psikologi pertumbuhan’.

3 Bdk. RIVC no 90, alinea ketiga, hal. 83.

4 Lih. Rm. Dionysius Cosasih. O. Carm, karya tulis berupa saduran dari buku ‘Psikologi Hidup Rohani’ tentang unsur-unsur bawah sadar dan pemahaman pribadi…, hal. 6.

5 Bdk. Peter Slattery, Sumber-sumber Karmel (Malang, Dioma, 1993), hal 160. tentang spiritualitas Karmel, yang menjelaskan bahwa “…untuk mengikuti jejak Yesus Kristus, …dengan setia, hati bersih dan pikiran terbuka.

6 Pengertian Dalihan Natolu secara harafiah adalah tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Pada zamannya, kebiasaan masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu, dalam bahasa Batak disebut dalihan. Falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak.Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital, karena menyangkut kebutuhan hidup.

7 Sebutan ‘pak tua’ atau ‘amang tua’ dalam bahasa Indonesia berarti ‘bapak tua’. Sebutan ini selalu disebutkan seorang anak kepada kakak dari ayahnya baik itu karena hubungan keluarga maupun hanya karena semarga. Sebutan ini juga dapat ditujukan kepada suami dari kakak perempuan dari ibu. Sebutan ini dalam suku Jawa disebut ‘pak de’

8 Bdk. Amsal. 17:17

9 Bdk. Mat. 15: 11-32 (Kisah Perumpamaan Tentang Anak Yang Hilang)

10 Lih. Bagian 2.3.2.

11 Bdk. Mat.4: 19; Mrk. 1: 17

12 Lihat dalam keseluruhan isi dari Kitab Keluaran, yang menceritakan tentang kisah keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir ke tanah terjanji.

13 ‘Anak Panggoaran’, merupakan anak yang membawa nama keluarga nantinya, penerus keluarga. Biasanya nama anak sulung (terutama yang putera)/ putera sulung dari anak sulung dalam suatu keluarga, akan selalu menjadi nama sebutan untuk orang tua, karena bagi orang Batak Toba menyebutkan nama orang tua adalah tabu. Jadi, nama anak sulunglah atau cucu sulung (anak sulung dari anak sulung), yang menjadi nama untuk orang tua. Misalnya: Marihot Sihotang akan diganti menjadi, Ama (Bpk dari) Robin (anak sulung) Sihotang/ oppung ni (kakek dari) Poltak Sihotang.

14 Bdk. Kej. 1: 28, Allah memberkati mereka, lalu berfirman kepada mereka: “Beranak cuculah dan bertambah banyak, ……”

15 St. Therese dari Kanak-kanak Yesus, Judul buku, “ Aku Percaya Akan Cinta Kasih Allah.” (Ende-Nusa Indah, 1995)

16 Bdk. Yoh. 3: 16

17 Lih. Mrk. 8: 34

18 Saya dipermandikan saat masih berumur kira-kira delapan bulan.

19 Lih. Bagian 2.4.5.4.

20 St. Therese dari Lisieux, Aku Yakin Akan Cinta Kasih Allah, (Ende-Nusa Indah, 1995), hal. 159. “…Gereja memiliki sebuah hati, dan bahwa hati itu bernyalahkan Cinta….”

11 Bdk. Mat.4: 19; Mrk. 1: 17

12 Lihat dalam keseluruhan isi dari Kitab Keluaran, yang menceritakan tentang kisah keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir ke tanah terjanji.

13 ‘Anak Panggoaran’, merupakan anak yang membawa nama keluarga nantinya, penerus keluarga. Biasanya nama anak sulung (terutama yang putera)/ putera sulung dari anak sulung dalam suatu keluarga, akan selalu menjadi nama sebutan untuk orang tua, karena bagi orang Batak Toba menyebutkan nama orang tua adalah tabu. Jadi, nama anak sulunglah atau cucu sulung (anak sulung dari anak sulung), yang menjadi nama untuk orang tua. Misalnya: Marihot Sihotang akan diganti menjadi, Ama (Bpk dari) Robin (anak sulung) Sihotang/ oppung ni (kakek dari) Poltak Sihotang.

14 Bdk. Kej. 1: 28, Allah memberkati mereka, lalu berfirman kepada mereka: “Beranak cuculah dan bertambah banyak, ……”

15 St. Therese dari Kanak-kanak Yesus, Judul buku, “ Aku Percaya Akan Cinta Kasih Allah.” (Ende-Nusa Indah, 1995)

16 Bdk. Yoh. 3: 16

17 Lih. Mrk. 8: 34

18 Saya dipermandikan saat masih berumur kira-kira delapan bulan.

19 Lih. Bagian 2.4.5.4.

20 St. Therese dari Lisieux, Aku Yakin Akan Cinta Kasih Allah, (Ende-Nusa Indah, 1995), hal. 159. “…Gereja memiliki sebuah hati, dan bahwa hati itu bernyalahkan Cinta….”

21 Bdk. 2 Raj 2: 6-18

22 Lih. Regula Pasal 10

23 Lih. 1 Raj 18: 20-46

24 Yakobus de Vitri, Uskup Acre (tahun 1216-1228)

25 Bdk. 1 Raj 19: 10 atau ay .14

26 Lih. RIVC hal. 67-74

27 Bdk. Konstitusi psl. 140Rata Kiri

28 Lih. RIVC hal. 75-83.

29 Lih. RIVC hal. 84- 90.

30 Bdk, Konstitusi psl. 146

31 Bdk Reg. Psl 15

32 RIVC 81 alinea I

33 Lih. Konstitusi psl 152

34 Lih. Ida Friederike Gorres, “Wajah yang Tersembunyi” (Yogyakarta, Kanisius. 1985), Hal 340-356.

35 Lih. Ida Friederike Gorres, “Wajah yang Tersembunyi” (Yogyakarta, Kanisius. 1985), Hal 328-340.